Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anggaran Tak Kunjung Diketok, Strategi Baru Wacana Tunda Pemilu?

Kompas.com - 09/03/2022, 14:57 WIB
Fitria Chusna Farisa

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Anggaran Pemilu 2024 belum juga diketok. Pembahasan yang melibatkan pemerintah, DPR, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) nampaknya masih alot.

Masalahnya, tahapan penyelenggaraan pemilu bakal dimulai 3 bulan lagi atau Juni 2022.

Sisa waktu yang tinggal sedikit ini dikhawatirkan jadi alasan baru untuk kembali menguatkan wacana penundaan pemilu.

Belum dibahas lagi

Sekretaris Jenderal KPU Bernad Dermawan Sutrisno mengatakan, pihaknya masih menanti pembahasan dengan DPR dan pemerintah terkait anggaran Pemilu 2024.

"Belum ada pembahasan lagi dengan DPR dan pemerintah. Kami di KPU menunggu pembahasan tersebut," katanya saat dihubungi, Selasa (8/3/2022).

Baca juga: Soal Anggaran Pemilu, Ketua Banggar: Belum Bisa Cair, Tunggu SK Presiden Terkait Legalitas KPU-Bawaslu

Adapun anggaran pemilu yang diajukan KPU yakni sekitar Rp 76 triliun, dari semula Rp 86 triliun.

Bernad mengatakan, sebanyak 81,84 persen anggaran akan digunakan untuk kegiatan tahapan, di antaranya honor badan ad hoc, logistik, dan pemutakhiran data pemilih.

Kemudian, 18,16 persen anggaran bakal digunakan untuk kegiatan dukungan tahapan pemilu. Kegiatan tersebut di antaranya pembangunan atau renovasi gedung kantor dan gudang arsip pemilu, gaji pegawai KPU se-Indonesia, dan belanja operasional kantor KPU se-Indonesia.

Operasi tunda pemilu

Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam khawatir alotnya pembahasan anggaran Pemilu 2024 jadi alasan baru untuk menunda gelaran pemilihan umum.

Baca juga: Pemerintah, DPR, dan KPU Diminta Segera Sepakati Anggaran Pemilu 2024

Setelah operasi politik penundaan pemilu yang melibatkan elemen-elemen lingkaran Istana Presiden tidak mampu menyatukan kekuatan politik di parlemen, wacana menunda pemilu diduga masih akan berlanjut.

Menurut Umam, strategi baru yang bakal dijalankan para pemilik kepentingan adalah dengan memaksa KPU untuk menyatakan “tidak sanggup” menggelar pemilu pada 14 Februari 2024.

Indikator dasar yang kini nampak, partai-partai politik di parlemen tidak agresif untuk mengetok alokasi dana pemilu.

"Titik krusialnya ada di bulan-bulan ini. Jika tangan dan kaki KPU dikunci oleh tidak jelasnya pengesahan alokasi dana pemilu, maka problem teknis operasional penyiapan Pemilu 2024 akan muncul," kata Umam kepada Kompas.com, Rabu (9/3/2022).

Pada titik itulah, menurut Umam, pihak-pihak yang berkepentingan di sekitar Istana Presiden dan parpol pendukung penundaan pemilu akan “cuci tangan”.

Baca juga: Banggar DPR: Pembahasan Anggaran Pemilu 2024 Tak Akan Jadi Alasan untuk Tunda Pemilu

Sangat mungkin bagi mereka melimpahkan kesalahan atas ketidakmampuan penyelenggaraan Pemilu 2024 tepat waktu ke KPU.

"Jika sampai KPU berhasil dipaksa untuk menyatakan tidak siap, maka operasi politik predatorik ini berhasil dijalankan," ujarnya.

Oleh karenanya, kata Umam, KPU dan masyarakat sipil harus benar-benar mengantisipasi potensi ini.

Jangan sampai KPU menjadi bagian dari pihak-pihak yang menyuarakan penundaan Pemilu 2024 demi kepentingan politik sejumlah pihak.

Sementara, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, kepastian anggaran menjadi jaminan penyelenggaraan Pemilu 2024.

Baca juga: Anggaran Pemilu 2024 Belum Disepakati, KPU Tunggu Pembahasan dengan DPR dan Pemerintah

Karena itu, dia meminta pemerintah dan DPR segera membahas dan menyepakati usulan anggaran pemilu yang diusulkan KPU. Ini perlu untuk mengakhiri wacana penundaan pemilu.

Jika pun usulan anggaran KPU terlalu besar, pemerintah dan DPR bisa membahas dan menentukan mana saja mata anggaran yang dapat dihemat.

"Sebagai bentuk konkret dari pernyataan presiden minggu lalu adalah dengan memberikan kepastian anggaran dan segera membahas PKPU Tahapan. Menurut saya, hal ini sebagai bentuk kepastian penyelenggaraan pemilu," kata Khoirunnisa.

Anggaran jadi alasan

Wacana penundaan Pemilu 2024 sendiri bergulir sejak akhir Februari 2022.

Isu itu dikemukakan oleh sejumlah elite partai politik seperti Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan.

Persoalan anggaran bahkan sempat disinggung oleh Zulkifli sebagai salah satu alasan partainya mengusulkan penundaan pemilu.

"Anggaran pemilu yang justru membengkak dari rencana efisiensi, lebih baik dikonsentrasikan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat," kata Zulhas, sapaan akrab Zulkifli, dalam keterangan tertulis, Jumat (25/2/2022).

Baca juga: Tokoh Parpol yang Lempar Wacana Pemilu Diundur Dinilai Perlu Minta Maaf ke Publik

Selain itu, menurut Zulhas, ada empat alasan lain partainya menyuarakan pemilu ditunda. Pertama, masih berlangsungnya pandemi virus corona.

Kedua, kondisi perekonomian belum stabil. Ketiga, adanya perkembangan situasi konflik global yang perlu diantisipasi, antara lain perang Rusia-Ukraina dan tidak menentunnya harga minyak dunia.

Terakhir, keberlangsungan program-program pembangunan nasional yang tertunda akibat pandemi.

Sementara, Muhaimin mengusulkan agar pemilu ditunda dengan dalih ekonomi. Menurut Muhaimin, usulan itu muncul karena dia tidak ingin ekonomi Indonesia mengalami pembekuan setelah dua tahun stagnan akibat pandemi Covid-19.

Wakil Ketua DPR RI itu mengatakan, akan ada banyak momentum untuk memulihkan ekonomi selama 2022-2023. Sementara, gelaran pemilu ia nilai bisa mengganggu prospek ekonomi.

Adapun, Airlangga mengusulkan penundaan pemilu lantaran mengaku menerima aspirasi dari kalangan petani di Kabupaten Siak, Riau, terkait wacana perpanjangan masa jabatan presiden.

Baca juga: Pakar Hukum: UUD Sudah Kunci Pemilu Dilaksanakan 5 Tahun Sekali, Tak Etis Ada Amendemen

Isu ini pun belakangan membesar hingga Presiden Joko Widodo angkat bicara. Jokowi menyatakan bakal patuh pada konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945.

Namun, dia menyebut, wacana penundaan pemilu tidak bisa dilarang lantaran itu bagian dari demokrasi.

"Kita bukan hanya taat dan tunduk, tetapi juga patuh pada konstitusi," kata Jokowi di Istana Bogor, Jawa Barat, Jumat (4/3/2022), dilansir dari Kompas.id edisi Sabtu (5/3/2022).

"Siapa pun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, menteri atau partai politik, karena ini kan demokrasi. Bebas aja berpendapat. Tetapi, kalau sudah pada pelaksanaan semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi," tuturnya.

Dalih DPR

Merespons ini, Badan Anggaran (Banggar) DPR mengaku, pihaknya akan tetap patuh pada kesepakatan jadwal pelaksanaan pemilu, yakni 14 Februari 2024.

Wakil Ketua Banggar, Syarif Alkadrie, mengatakan, tidak ada alasan untuk menunda pemilu.

"Pemilu itu kan sudah disepakati, pemerintah sudah menyepakati dengan DPR, tanggal, bulannya sudah disepakati, kemudian pilkada juga sudah disepakati," kata Syarif saat dihubungi Kompas.com, Rabu (9/3/2022).

Syarif menuturkan, belum disepakatinya alokasi anggaran untuk Pemilu 2024 karena Komisi II DPR masih perlu membahasnya dengan KPU.

"Ini kan DPR kan masih reses. Nanti itu kan dibahas oleh Komisi II. Komisi II kan baru menyepakati tanggal dan bulan, tahun," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Anies Diprediksi Bakal Terima Tawaran Nasdem Jadi Cagub DKI jika Tak Ada Panggung Politik Lain

Anies Diprediksi Bakal Terima Tawaran Nasdem Jadi Cagub DKI jika Tak Ada Panggung Politik Lain

Nasional
9 Kabupaten dan 1 Kota  Terdampak Gempa M 6,2 di Garut

9 Kabupaten dan 1 Kota Terdampak Gempa M 6,2 di Garut

Nasional
KPK Sebut Dokter yang Tangani Gus Muhdlor Akui Salah Terbitkan Surat 'Dirawat Sampai Sembuh'

KPK Sebut Dokter yang Tangani Gus Muhdlor Akui Salah Terbitkan Surat "Dirawat Sampai Sembuh"

Nasional
BNPB: Tim Reaksi Cepat Lakukan Pendataan dan Monitoring Usai Gempa di Garut

BNPB: Tim Reaksi Cepat Lakukan Pendataan dan Monitoring Usai Gempa di Garut

Nasional
BNPB: Gempa M 6,2 di Garut Rusak Tempat Ibadah, Sekolah, dan Faskes

BNPB: Gempa M 6,2 di Garut Rusak Tempat Ibadah, Sekolah, dan Faskes

Nasional
PBNU Gelar Karpet Merah Sambut Prabowo-Gibran

PBNU Gelar Karpet Merah Sambut Prabowo-Gibran

Nasional
KPK Nonaktifkan Dua Rutan Buntut Pecat 66 Pegawai yang Terlibat Pungli

KPK Nonaktifkan Dua Rutan Buntut Pecat 66 Pegawai yang Terlibat Pungli

Nasional
BNPB: 4 Orang Luka-luka Akibat Gempa M 6,2 di Kabupaten Garut

BNPB: 4 Orang Luka-luka Akibat Gempa M 6,2 di Kabupaten Garut

Nasional
Prahara di KPK: Usai Laporkan Albertina Ho, Nurul Ghufron Dilaporkan Novel Baswedan Cs Ke Dewas

Prahara di KPK: Usai Laporkan Albertina Ho, Nurul Ghufron Dilaporkan Novel Baswedan Cs Ke Dewas

Nasional
BNPB: Gempa M 6,2 di Kabupaten Garut Rusak 27 Unit Rumah, 4 di Antaranya Rusak Berat

BNPB: Gempa M 6,2 di Kabupaten Garut Rusak 27 Unit Rumah, 4 di Antaranya Rusak Berat

Nasional
Tanggal 1 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 1 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 30 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 30 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Pengamat: Nasib Ganjar Usai Pilpres Tergantung PDI-P, Anies Beda karena Masih Punya Pesona Elektoral

Pengamat: Nasib Ganjar Usai Pilpres Tergantung PDI-P, Anies Beda karena Masih Punya Pesona Elektoral

Nasional
Defend ID Targetkan Tingkat Komponen Dalam Negeri Alpalhankam Capai 55 Persen 3 Tahun Lagi

Defend ID Targetkan Tingkat Komponen Dalam Negeri Alpalhankam Capai 55 Persen 3 Tahun Lagi

Nasional
TNI AL Kerahkan 3 Kapal Perang Korvet untuk Latihan di Laut Natuna Utara

TNI AL Kerahkan 3 Kapal Perang Korvet untuk Latihan di Laut Natuna Utara

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com