JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti senior Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (PSHTN FHUI) Nur Widyastanti mengatakan, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah mengunci pemilihan umum (pemilu) dilaksanakan tiap lima tahun sekali.
Selain itu, UUD juga menyatakan, masa jabatan presiden dan wakil presiden yaitu lima tahun dan hanya dapat dipilih satu kali lagi untuk jabatan yang sama.
"Penyelenggaraan pemilu dalam UUD 1945 ada di Pasal 22E ayat 1 sampai 6. Pemilu dikatakan dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, dan adil setiap lima tahun sekali. Artinya, UUD 1945 sudah mengunci bahwa pemilu lima tahun sekali. Lalu, di Pasal 7 presiden dan wakil presiden memegang jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan," kata Widya dalam diskusi daring PSHTN FHUI, Rabu (9/3/2022).
Baca juga: Tiga Partai Koalisi Gulirkan Penundaan Pemilu 2024, Strategi Buying Time sampai soal Kursi Menteri?
Widya menuturkan, adanya pembatasan masa jabatan presiden ini penting bagi demokrasi di Indonesia.
Sebab, ia mengatakan, Indonesia punya sejarah presiden-presiden yang terlalu lama duduk di kursi kepemimpinan.
Pembatasan masa jabatan presiden di UUD 1945 mencegah lahirnya pemerintah otoritarian seperti di masa lampau.
"Keinginan untuk mengikat masa jabatan ini besar, sehingga otoritarian hilang, tidak terjadi lagi dan demokrasi di Indonesia bisa berjalan baik," ujarnya.
Baca juga: Kisah PAN Koalisi Tanpa Keringat Jokowi yang Tak Dapat Kursi Menteri, Kini Dukung Penundaan Pemilu
Widya menambahkan, pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu sudah menetapkan hari pemungutan suara Pemilu 2024 pada 14 Februari 2024.
Menurutnya, beragam alasan untuk menunda pemilu tidak dapat diterima.
"Mengapa baru sekarang bicara pemulihan ekonomi sampai harus ada wacana menunda pemilu? Lalu, biaya pemilu yang sangat besar hingga mencapai Rp. 100 triliun. Kalau memang angkanya di situ, memang tidak bisa disederhanakan?" ucapnya.
Bertalian dengan itu, Widya berpendapat, tidak ada landasan hukum yang cukup kuat untuk menunda pemilu.
Widya mengatakan, satu-satunya cara untuk menunda pemilu yaitu dengan melakukan amendemen UUD 1945.
Namun, dia menegaskan, amendemen UUD 1945 hanya untuk menunda pemilu atau memperpanjang masa jabatan presiden sama sekali tidak etis dilakukan.
"Mungkin tidak (amendemen UUD)? Mungkin sekali. Apalagi kalau kita lihat kursi di MPR sekarang banyak (partai politik) pendukung pemerintah. Tapi ini tidak etis," katanya.
Baca juga: Nasdem Ingatkan Semua Pihak Hindari Buat Pernyataan Gaduh seperti Usulan Penundaan Pemilu
Ia menuturkan, penundaan pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden akan menyebabkan kemunduran demokrasi.
Menurut Widya, Indonesia bakal kembali terjangkit penyakit lama yang lebih parah daripada pandemi Covid-19.
"Kalau penundaan pemilu, bisa berantakan pemilu kita. Kalau masuk ke perpanjangan masa jabatan presiden, kita seperti balik lagi ke nol, bahkan minus demokrasi. Kita kembali ke masa lalu. Penyakit lama yang akhirnya lebih parah daripada pandemi," kata Widya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.