Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MAKI Minta KPK Usut Kasus Korupsi Kapal Tongkang Rp 240 Miliar yang Diduga Libatkan Kakak Bupati PPU

Kompas.com - 07/03/2022, 15:37 WIB
Irfan Kamil,
Dani Prabowo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntaskan laporan dugaan korupsi di Bank Kaltimkaltara senilai Rp 240 miliar.

Adapun kasus itu diduga melibatkan Hasanuddin Mas'ud, kakak Bupati nonaktif Penajam Paser Utara (PPU) Abdul Gafur Mas'ud.

"MAKI telah melakukan pengawalan laporan dugaan korupsi ini dalam bentuk telah berkirim surat kepada KPK berisi desakan penuntasan penanganan perkara dugaan korupsi ini," ujar Boyamin, melalui keterangan tertulis, Senin (7/3/2022).

"(MAKI) siap mengajukan gugatan praperadilan melawan KPK apabila kemudian penanganan perkara ini mangkrak dan lemot," kata dia melanjutkan.

Boyamin menjelaskan, modus dugaan korupsi itu dilakukan melalui model kredit fiktif untuk membuat kapal tongkang dan tugboat.

Baca juga: MAKI Sayangkan Langkah KPK yang Tak Banding Atas Kasus Azis Syamsuddin

Adapun itu bermula ketika PT HBL milik Hasanuddin Mas'ud mendapat kucuran dana Rp 235,8 miliar dari Bank Kaltimkaltara. Padahal, usia perusahaan yang bergerak di bidang transportasi tersebut baru berusia 5 bulan.

"Kendati baru berusia 5 bulan, PT HBL milik Hasanuddin Mas’ud, tanpa jaminan yang memadai, mendapat guyuran fasilitas kredit investasi dari BPD Kaltim sebanyak Rp 235,8 miliar," papar Boyamin.

MAKI berpendapat, pengajuan kredit diduga tidak didukung studi kelayakan yang masih dalam tahap penyusunan dan analisa kelayakan proyek oleh sebuah konsultan.

Padahal, ujar Boyamin, berdasarkan ketentuan yang ada, perusahaan transportasi itu diwajibkan memiliki perjanjian terlebih dahulu dengan perusahaan pembuatan kapal.

"Pencairan kredit seharusnya ditransfer ke perusahaan pembuat kapal. Namun pada kenyataannya pencairan diduga malah ditransfer ke perusahaan transportasi," kata Boyamin.

"Proses persetujuan dan pencairan kredit sarat penyimpangan, terdapat serangkaian dugaan perbuatan melawan hukum yang dikualifisir sebagai tindak pidana korupsi," ucap dia.

Baca juga: MAKI Minta Kejagung Cekal WNA Terkait Kasus Dugaan Korupsi Satelit Kemenhan

Sesuai dengan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2018, kata Boyamin, perusahaan transportasi itu tercatat masuk dalam kolektifibilitas 5 atau masuk kategori macet.

"Terdapat tunggakan pokok sebesar Rp 7,3 miliar. Terdiri dari tunggakan Januari, Februari, Maret, April dan September 2014, dengan bunga sebesar Rp 23,9 miliar. Ditambah tunggakan bunga bulan Februari sampai dengan September 2014," terang dia.

Atas dugaan di atas, Boyamin menilai kasus itu telah memenuhi syarat delik yang diatur dalam UU Perbankan, Peraturan BI No. 14/15/PBI/2021 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank.

Selain itu, perkara tersebut juga melanggar SK Direksi BPD Kaltim No. 051/SK/SDM/BPD PST/VII/2002 tentang Penyempurnaan Sistem dan Prosedur Manajemen Perkreditan di Lingkungan BPD Kaltim.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com