Oleh karenanya, dilakukan amendemen konstitusi untuk membatasi masa jabatan presiden dan wakilnya.
Baca juga: Usul Penundaan Pemilu Dinilai Inkonstitusional dan Rampas Hak Rakyat
Titi mengatakan, UUD hasil amendemen memiliki semangat membatasi kekuasaan pemerintah melalui pengaturan pembatasan masa jabatan, agar penyelenggaraan negara tidak sewenang-wenang atau otoriter.
"Di mana hal itu merupakan hasil perjalanan sejarah bangsa yang merefleksikan pembelajaran 32 tahun berada di bawah kekuasaan orde baru, kekuasaan eksekutif nasional yang tidak mengenal adanya pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden," kata dia.
Senada dengan Titi, Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay menilai, penumpukan kekuasaan yang terlalu besar hasil dari berkuasa yang terlalu lama akan membuat penguasa menjadi otoriter.
Dengan kekuasaan yang dimiliki, presiden menganggap bisa berbuat apa saja, bahkan merampok uang negara.
Mengutip adagium guru besar sejarah modern di Uneversitas Cambridge, Inggris, Lord Acton, Hadar mengatakan, kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut.
Baca juga: Ramai Isu Penundaan Pemilu 2024, Mungkinkah Menurut UU?
"Perlu adanya pembatasan periode jabatan adalah untuk memastikan tetap berjalannya ruang terjadinya sirkulasi elite," kata Hadar dalam perbincangan dengan Kompas.com, Rabu (2/3/2022).
Menurut Hadar, sistem demokrasi yang sehat tidak bertahan di satu tangan terlalu lama. Oleh karenanya, pembatasan masa jabatan dua periode dinilai paling tepat.
Terkait usulan penundaan pemilu, ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menilai, hal itu tidak diatur dalam konstitusi.
Yusril menjelaskan, Pasal 22E UUD 1945 secara imperatif menyatakan bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, serta DPRD dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
"Jadi, jika pemilu ditunda melebihi batas waktu lima tahun, maka atas dasar apakah para penyelenggara negara itu menduduki jabatan dan menjalankan kekuasaannya? Tidak ada dasar hukum sama sekali," kata Yusril dalam keterangannya, Sabtu (26/2/2022).
Penundaan pemilu juga disinyalir akan menyebabkan timbulnya pemerintahan yang ilegal. Sebab, dilakukan oleh penyelenggara negara yang tidak memiliki dasar hukum.
Adapun penyelenggara negara yang dimaksud Yusril adalah mereka yang seharusnya dipilih oleh rakyat setiap lima tahun sekali dalam pemilu.
"Kalau tidak ada dasar hukum, maka semua penyelenggara negara mulai dari Presiden dan Wakil Presiden, anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD semuanya 'ilegal' alias 'tidak sah' atau 'tidak legitimate'." jelas Yusril.
Baca juga: Mereka yang Coba Rayu Jokowi untuk Jadi Presiden Lebih Lama...
Sementara, pakar hukum tata negara Denny Indrayana menyatakan, wacana penundaan Pemilu 2024 merupakan bentuk pelecehan terhadap konstitusi.