Menyisakan TNI-Polri
Yusril beranggapan, kondisi itu akan menyisakan hanya ada dua penyelenggara negara eksekutif yang masih legal di tingkat pusat yaitu Panglima TNI dan Kapolri.
"Kedua penyelenggara negara ini hanya dapat diberhentikan oleh Presiden dengan memperhatikan pertimbangan dan persetujuan DPR. Bagaimana cara menggantinya, Presiden dan DPR saja sudah tidak sah dan ilegal. Dalam situasi seperti ini banyak pula kemungkinan dapat terjadi," jelasnya.
Namun, kekhawatiran Yusril masih berlanjut. Menurutnya, TNI dan Polri saat ini bukan lagi seperti Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) zaman dahulu yang berada di bawah satu komando, Panglima ABRI.
Baca juga: Soal Usulan Pemilu Ditunda, Perindo: Presiden Tak Tertarik, Mungkin Maunya Cak Imin Saja
TNI dan Polri, lanjut dia, saat ini terpisah dengan tugas masing-masing dan punya komando sendiri. Mereka juga masing-masing bertanggungjawab secara terpisah kepada presiden.
Akan tetapi, Yusril melihat bahwa apabila presidennya sendiri sudah ilegal dan tidak sah. Maka, Panglima TNI dan Kapolri bisa pula membangkang terhadap presiden.
"Beruntung bangsa ini kalau Panglima TNI dan Kapolri kompak sama-sama menjaga persatuan dan kesatuan bangsa pada saat yang sulit dan kritis. Tetapi kalau tidak kompak, bagaimana dan apa yang akan terjadi? Bisa saja terjadi dengan dalih untuk menyelamatkan bangsa dan negara, TNI mengambil alih kekuasaan walau untuk sementara," imbuh dia.
Di sisi lain, Yusril juga menyoroti penyelenggaraan pemerintah di daerah yang tanpa kontrol DPRD.
Meski demikian, kata dia, gubernur, bupati dan walikota masih sah menjalankan roda pemerintahan jika masa jabatannya belum berakhir.
Baca juga: Tolak Wacana Pemilu Diundur, PDI-P: Tak Miliki Landasan Hukum yang Kuat!
Namun, para pejabat pemerintah daerah itu tidak lagi dapat terkontrol DPRD. Pasalnya, DPRD pun dinilai sudah ilegal.
"Begitu juga tanpa pertanggungjawaban lagi kepada Presiden sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Bagaimana mau bertanggung jawab kalau Presidennya sudah ilegal? Keadaan bangsa dan negara akan benar-benar carut marut akibat penundaan Pemilu," ucapnya.
Terakhir, Yusril mengaku khawatir akan terjadi kondisi carut marut dan berakhir pada kondisi anarki di Indonesia.
Menurutnya, definisi anarki dalam hal ini adalah suatu kondisi di mana setiap orang maupun kelompok merasa merdeka berbuat apa saja.
Baca juga: Usul Pemilu Diundur, Muhaimin Dinilai Terapkan Strategi Buying Time
Di sisi lain, Yusril berpandangan bahwa situasi anarki akan mendorong munculnya seorang diktator untuk menyelamatkan negara dengan tangan besi.
"Diktator akan mendorong konflik makin meluas. Daerah-daerah potensial bergolak. Campur-tangan kepentingan-kepentingan asing untuk adu domba dan pecah belah tak terhindarkan lagi. NKRI 'harga mati' berada dalam pertaruhan besar," pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan, tiga ketua umum partai politik yaitu Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menyampaikan wacana perpajangan masa jabatan presiden.
Wacana ini diawali oleh Muhaimin Iskandar yang mengusulkan pemilu 2024 diundur lantaran dikhawatirkan mengganggu stabilitas ekonomi Tanah Air pada tahun tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.