JAKARTA, KOMPAS.com - Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani membantah adanya pernyataan yang menyebutkan pemerintah mulai membatasi pendanaan asing untuk organisasi masyarakat.
Menurutnya, salah satu sumber pendanaan bagi masyarakat sipil dan organisasi kemasyarakatan adalah dari sumbangan lembaga asing.
"Bila ada tuduhan organisasi asing tidak dapat memberikan dana ke masyarakat sipil, hal tersebut jelas salah, karena salah satu sumber pendanaan masyarakat sipil dapat berasal dari bantuan/sumbangan dari lembaga asing," ujar Jaleswari sebagaimana dilansir dari siaran persnya pada Senin (21/2/2022).
Akan tetapi, lanjut dia, tentu dalam proses pemberian bantuan tersebut ada prosedur yang harus dilewati.
Baca juga: Setiap Ormas Asing dan Domestik Wajib Memiliki Daftar Terduga Teroris
Hal ini bertujuan menjamin bahwa bantuan yang disalurkan tidak ditujukan untuk mendukung kegiatan ormas yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan terkait ormas.
"Misal kegiatan terorisme, separatisme, serta kegiatan yang bertentangan dengan hukum Indonesia lainnya. Hal demikian juga sama berlakunya terhadap kegiatan ormas yang didirikan oleh warga negara asing yang beroperasi di Indonesia," tutur Jaleswari.
"Pengaturan tersebut juga tidak perlu dianggap sebagai serangan terhadap kebebasan berpendapat. Perlu diingat bahwa pengaturan mengenai hak berserikat juga dimungkinkan dan diberikan ruangnya oleh konstitusi kita," tegasnya.
Hal ini untuk menjamin iklim kebebasan berserikat di Indonesia tetap sejalan dengan maksud pembatasan yang diperbolehkan dalam konstitusi.
Di antaranya untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Baca juga: Pemerintah Pantau Ormas Asing Terkait Potensi Pendanaan Terorisme
Jaleswari menambahkan, rasio konstitusional terkait pengaturan mengenai kebebasan berserikat tersebut pun merupakan praktik yang lumrah bila dikomparasikan dengan praktik di negara-negara demokrasi lainnya.
Sebelumnya, dilansir dari pemberitaan Tribunnews.com, pemerintah disebut mulai membatasi pendanaan dan pendaftaran organisasi non-pemerintah (ornop) atau non-governmental organization (NGO).
Hal itu disampaikan pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STIH) Jentera, Bivitri Susanti, dalam webinar 'Resiko Membongkar Oligarki: Kaitan Investigasi Korupsi dan Kebebasan Berekspresi' yang ditayangkan kanal YouTube IM57+ Institute, Sabtu (19/2/2022).
Dalam diskusi itu, dia berbicara soal empat ancaman terkini terhadap kebebasan berpendapat di Indonesia, salah satunya terkait pembatasan pendanaan dan pendaftaran tersebut.
"Tidak terlalu kelihatan tapi sebenarnya tengah terjadi, terus terang saja sejak pemerintahannya Pak Jokowi," ucap Bivitri.
Baca juga: FKPPI: Ormas Asing Ancam Kedaulatan Indonesia
Bahkan, disebutkan Bivitri, sampai ada beberapa organisasi internasional yang meminta tolong kepada dirinya untuk memberi penjelasan mengapa pendaftaran dan pendanaan NGO menjadi sulit.
"Silakan tanya kawan-kawan yang bergiat di ornop-ornop," katanya.
"Kenapa misalnya mereka sangat dipersulit untuk bergerak di Indonesia, dalam hal keimigrasian dan sebagainya, dan tak bisa beri dana ke masyarakat sipil, harus ke kementerian," lanjut Bivitri.
Ancaman kedua yaitu serangan dan kekerasan siber. Bahkan, Bivitri mengaku sempat mendapatkan serangan siber yang bersifat seksual dalam sebuah pertemuan virtual via zoom beberapa waktu lalu.
"Cukup mengerikan dan traumatis," tuturnya.
Lalu ancaman ketiga yaitu penggunaan sistem peradilan (judicial harassment). Bivitri melihat ancaman ini sangat parah dan dibongkar.
Baca juga: Setiap Tahun Selalu Ada Ormas Baru di Karawang
Salah satu kasusnya yaitu para kasus antara penggiat HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dengan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan.
"Tak hanya tekanan pidana, tapi juga perdata, mereka (Haris dan Fatia) juga harus menghadapi," ucap Bivitri.
Adapun ancaman keempat yakni terkait serangan fisik dan kekerasan. Bivitri menyoroti serangan yang sangat rawan dihadapi oleh mereka yang ada di daerah, bukan di kota besar seperti Jakarta.
"Kawan-kawan di lapangan, meninggal dunia, disiksa, serangan fisik, dan kekerasan, itu nyata," ujarnya.
Dia kemudian mencontohkan kasus yang menimpa advokat Jurkani yang meninggal dunia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.