JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah berencana meratifikasi perjanjian Penyesuaian Area Layanan Navigasi Penerbangan atau Flight Information Region (FIR) antara Indonesia dan Singapura melalui Peraturan Presiden (Perpres). Meski dibenarkan, namun Pemerintah diingatkan pentingnya evaluasi DPR untuk perjanjian kerja sama strategis ini.
"Perjanjian FIR 1995 juga dengan Perpres (dulu Keppres). Tapi menurut Pasal 11 UU Perjanjian Internasional harus dievaluasi oleh DPR," ungkap Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana dalam perbincangan dengan Kompas.com, Kamis (17/2/2022).
Adapun aturan tersebut ada dalam UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Bunyinya adalah sebagai berikut:
(1) Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan dengan keputusan presiden.
(2) Pemerintah Republik Indonesia menyampaikan salinan setiap keputusan presiden yang mengesahkan suatu perjanjian internasional kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dievaluasi.
"Tapi kalau pengambil kebijakan sudah punya mau apalagi DPR-nya sudah dikuasai, apapun jadi," kata Hikmahanto.
Baca juga: Sebagian FIR Masih Dikuasai Singapura, Kehormatan RI sebagai Negara Besar Disorot
Perjanjian antara Indonesia dan Singapura soal FIR ini sendiri masih menuai kritik karena tak membuat Indonesia betul-betul menguasai wilayah udara di Kepulauan Riau (Kepri), Tanjungpinang, dan Natuna.
Sebelumnya Pemerintah mengklaim berhasil mengambil alih FIR di ruang udara tersebut setelah sejak merdeka berada dalam penguasaan Singapura.
Namun dalam perjanjian kerja sama yang dilakukan pada Selasa (25/1/2022) lalu, Indonesia masih memberikan izin pengelolaan ruang udara di sekitar Kepri kepada Singapura.
Delegasi pelayanan jasa penerbangan pada area tertentu diberikan kepada otoritas Singapura untuk penerbangan dengan ketinggian 0-37.000 kaki. Adapun penerbangan 37.000 feet ke atas baru masuk dalam pengelolaan Indonesia.
Sementara traffic atau lalu lintas penerbangan sipil jarang berada pada ketinggian di atas 37.000 feet. Ppenerbangan sipil di atas 37.000 kaki biasanya hanya untuk melintas.
Baca juga: Usai FIR Diambil Alih, Singapura Masih Tetap Kuasai Sebagian Ruang Udara Indonesia
Perjanjian FIR ini berada satu paket dengan kesepakatan soal Defense Cooperation Agreement (DCA) dan ekstradisi buronan.
Salah satu poin dari DCA ini mengizinkan militer Singapura berlatih di ruang udara Indonesia. Perjanjian soal DCA sendiri sudah pernah dilakukan antara Indonesia dan Singapura tahun 2007 di era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) namun akhirnya tak diratifikasi karena banyak penolakan.
Sementara itu perjanjian ekstradisi memungkinkan Indonesia memulangkan kembali buronan yang lari ke Singapura beserta asetnya. Namun Hikmahanto menilai paket perjanjian ini berat sebelah.
"Mengapa kok pemerintah mau tandemkan dengan perjanjian Pertahanan yang tahun 2007 dipermasalahkan karena banyak peluang bagi Singapura untuk melanggar kedaulatan Indonesia?" tuturnya.
"Dalam narasi pemerintah selalu dikatakan mentandemkan ini bagus karena kita bisa mengejar buron kita yang ada di Singapura. Menurut saya ini absurd," tambah Hikmahanto.