JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward O. S. Hiariej mengatakan, ada tujuh bentuk tindak pidana kekerasan seksual yang ada di Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
Jumlah tersebut setelah ada tambahan dua bentuk kekerasan seksual yang diusulkan pemerintah.
"Berdasarkan inisiatif DPR ada lima bentuk tindak pidana kekerasan seksual. Kemudian pemerintah menambah sehingga ada sekitar tujuh tindak pidana kekerasan seksual," ujar Edward dalam konferensi pers yang digelar secara daring pada Jumat (11/2/2022).
Ketujuh bentuk yang dimaksud adalah, pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual non fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, perbudakan seksual dan penyiksaan seksual.
Baca juga: Pemerintah Bakal Kirim DIM RUU TPKS Hari Ini, Pimpinan DPR: Kita Lakukan Sesuai Mekanisme
Edward melanjutkan, pemerintah berharap ke depannya RUU ini tidak hanya menggunakan hukum acara terhadap perbuatan pidana atau tindak pidana yang diatur dalam aturan ini saja.
Melainkan, berita acara yang ada di RUU ini diberlakukan untuk semua tindak pidana kekerasan seksual yang berada di luar aturan ini.
"Karena itu ditegaskan di RUU ini bahwa hukum acara dalam aturan ini atau tindak pidana kekerasan seksual yang dimaksud dalam aturan ini juga mengikuti. Seperti perkosaan, aborsi, pencabulan, perdagangan orang dan sebagainya," jelas Edward.
Dia lantas menjelaskan mengapa hukum acara ditegaskan bersifat menyeluruh.
Menurutnya dari ribuan kasus kekerasan seksual yang sering terungkap di media, yang bisa dijadikan kenyataan perkara hanya sekitar 300 kasus.
Secara persentase, jumlah tersebut kurang dari lima persen yang dijadikan perkara.
"Artinya apa ? Artinya something wrong. Ada sesuatu yang salah dari hukum acara kita. Karena kalau kebanyakan saudara-saudara nanya kenapa ini tidak bisa diproses. Karena penegak hukum, polisi dan jaksa itu ketika memeriksa perkara itu akan strict to the role," papar Edward.
"Yang saya maksud strict to the role adalah misal kurang bukti atau tidak cukup bukti memang dia berlandaskan hukum acara yang ada. Hukum acara yang ada di dalam UU tindak pidana perdagangan orang, di dalam UU pencegahan kekerasan di rumah tangga, yang ada dalam UU perlindungan anak atau KUHP itu tidak bisa untuk memproses ribuan perkara yang kita dengar," lanjutnya.
Baca juga: Gelar Konsultasi Publik RUU TPKS, Moeldoko: Kolaborasi Semua Pihak Diperlukan
Sehingga Edward menekankan perlu adanya satu UU khusus yang lebih menitikberatkan kepada hukum acara.
"Jadi hukum acara ini memang banyak beda denhan KUHP. Yang tidak lain tidak bukan agar tidak ada lagi alasan untuk tidak memproses perkara atau tindak pidana kekerasan seksual yang terjadi," tegasnya.
Dia pun menambahkan, dalam menyusun daftar isian masalah (DIM) RUU TPKS pemerintah sudah mengkonstruksikan hukum acara yang memang lebih mudah dari segi pembuktian proses dan dan sebagainya.