JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 7 tahun 2022 setelah Mahkamah Agung (MA) membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 tahun 2012 atau yang dikenal dengan PP pengetatan remisi koruptor.
Koordinator Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas) Kemenkumham Rika Aprianti mengatakan, dalam Permenkumham baru itu, terpidana kasus korupsi yang akan mendapatkan pembebasan bersyarat diwajibkan telah membayar denda dan uang pengganti.
"Dalam Permenkumham ini mempersyaratkan terpidana untuk membayar lunas denda dan uang pengganti bagi narapidana kasus korupsi untuk mendapatkan hak remisi maupun integrasi PB (pembebasan bersyarat), CB (cuti bersyarat) dan CMB (cuti menjelang bebas)," ujar, Rika kepada Kompas.com, Kamis (3/2/2022).
Baca juga: PP Pengetatan Remisi Koruptor Dicabut, MA Dinilai Salah Kaprah Memahami Restorative Justice
Menurut Rika, pembahasan, penyusunan dan penyelarasan Permenkumham baru ini telah disetujui oleh Kementerian/Lembaga terkait.
Kementerian/lembaga itu, ujar dia, juga menyetujui dan mendukung rancangan perubahan Permenkumham itu dengan beberapa pengetatan untuk tindak pidana tertentu. Misalnya, jenis tindak pidana luar biasa.
Namun demikian, lanjut Rika, Permenkumham ini tetap memperhatikan bahwa pengetatan tersebut tidak boleh membatasi hak-hak narapidana.
Ia menjelaskan, penghilangan justice collabolator dalam putusan MA menjadikan hal tersebut bukan syarat pemberian hak remisi.
Namun, sebagai reward sesuai dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
"Permenkumham ini tidak menghilangkan syarat-syarat khusus dalam pemberian hak narapidana sesuai dengan PP 99 tahun 2012. Misalnya pemberian hak bagi narapidana terorisme tetap mempersyaratkan bahwa harus telah menyatakan ikrar kesetiaan kepada Republik Indonesia serta telah mengikuti dengan baik program deradikalisasi," papar Rika.
Selain itu, dalam Permenkumham baru tersebut, reformulasi remisi dengan alasan kemanusiaan akan diberikan berdasarkan satu kategori tentang remisi tambahan.
Reformulasi remisi bisa dilakukan terhadap usulan remisi yang terlambat karena syarat dan dokumen yang belum terpenuhi pada periode penyerahan remisi umum ataupun khusus keagamaan.
Hal itu, telah disisipkan dalam Pasal 27A dengan besaran remisi pertama yang telah sesuai dengan Pasal 4 Keputusan Presiden (Kepres) nomor 174 tahun 1999 tentang remisi.
Rika menyebut, remisi akan diberikan sebesar 1 bulan bagi narapidana yang menjalani pidanananya 6 sampai dengan 12 bulan dan sebesar 2 bulan bagi narapidana yang menjalani pidananya 12 bulan atau lebih.
"Diharapkan Permenkumham yang diterbitkan ini dapat dijadikan sebagai regulasi yang mengatur pemenuhan hak warga binaan pasca dikabulkannya sebagian gugatan atas beberapa Pasal yang termuat dalam PP 99 Tahun 2012 melalui keputusan Mahkamah Agung no 28 P/HUM/2021," jelas Rika.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.