Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebijakan di Era Habibie yang Hapus Diskriminasi Etnis Tionghoa

Kompas.com - 01/02/2022, 12:11 WIB
Elza Astari Retaduari

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Masyarakat Tionghoa bisa merayakan Imlek secara bebas sejak era reformasi. Tak hanya Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Presiden ketiga RI Baharuddin Jusuf (BJ) Habibie juga berjasa besar untuk masyarakat Tionghoa.

Di masa kepemimpinannya sebagai presiden yang singkat, Habibie pernah menerbitkan sejumlah aturan yang menghapus diskriminasi terhadap masyarakat minoritas di Indonesia.

Melansir laporan Komnas HAM tahun 2016 soal "Upaya Negara Menjamin Hak-hak Kelompok Minoritas di Indonesia", Habibie menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-pribumi.

Inpres memberikan instruksi kepada para menteri, pimpinan lembaga pemerintah non-departemen, pimpinan lembagaga tertinggi/tinggi negara, serta kepala daerah untuk menghentikan penggunaan istilah pribumi dan non-pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan.

Baca juga: SBY dan Digantinya Istilah China Jadi Tionghoa...

"Memberikan perlakuan dan layanan yang sama kepada seluruh WNI dalam penyelenggaraan layanan pemerintahan, kemasyarakatan maupun pembangunan, dan meniadakan pembedaan dalam segala bentuk, sifat serta tingkatan kepada WNI baik atas dasar suku, agama, ras maupun asal-usul dalam penyelenggaraan layanan tersebut," demikian salah satu isi dari Inpres 26/1998, seperti dikutip dari komnasham.go.id, Selasa (1/2/2022).

Selain itu, Inpres 26/1998 juga memerintahkan adanya peninjauan kembali dan penyesuaian seluruh peraturan perundang-undangan, kebijakan, program, dan kegiatan termasuk pemberian layanan perizinan usaha, keuangan/perbankan, kependudukan, pendidikan, dan kesehatan untuk menyesuikan dengan aturan tersebut.

Lewat Inpres yang dikeluarkan Habibie, seluruh warga negara Indonesia memiliki kesempatan kerja dan penentuan gaji atau penghasilan yang sama, termasuk masyarakat dari etnis Tionghoa.

Baca juga: Mengenang Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa Indonesia dalam Perayaan Imlek

Setelahnya, Habibie kembali mengeluarkan aturan yang menghapus diskriminasi kepada warga Tionghoa dengan menerbitkan Inpres Nomor 4 tahun 1999.

Menurut Komnas HAM, Inpres kedua yang dikeluarkan Habibie untuk mempercepat dan mempertegas pelaksanaan dari Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 56 tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia dan Inpres No. 26 tahun 1998.

"Keppres ini ditujukan untuk memberikan penegasan mengenai status kewarganegaraan Republik Indonesia bagi istri atau anak yang belum berusia 18 tahun dari seseorang yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia dengan cara pewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan UU Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia," jelas Komnas HAM.

Inpres No 4/1999 yang dikeluarkan Habibie menghapus keberadaan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Sebelum adanya Inpres ini, masyarakat Tionghoa wajib menyertakan SKBRI setiap hendak mengurus apapun.

SBKRI dianggap sebagai bentuk disriminasi negara kepada kelompok minoritas. Selain diberlakukan kepada etnis Tionghoa, SBKRI juga diperuntukkan kepada keturunan India yang ada di Indonesia.

"Pemerintah juga menghapus persyaratan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dalam berbagai pelayanan publik. Sekalipun belum ada suatu peraturan yang memayunginya," terang Komnas HAM.

Dengan dikeluarkannya Inpres tersebut, beberapa instansi pemerintah secara nasional dan berbagai daerah mulai melakukan pembaruan atas berbagai prosedur dan persyaratan pelayanan publiknya dengan menghapuskan kewajiban SBKRI seperti Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil ataupun di Keimigrasian.

Baca juga: Mengingat Penetapan Imlek sebagai Hari Libur Nasional oleh Megawati

Sejumlah kota bahkan mengeluarkan instruksi Walikota untuk menghapuskan persyaratan SBKRI, seperti Kota Solo dan Semarang. Hanya saja dalam beberapa kasus, masih ditemukan instansi maupun daerah yang menerapkan kewajiban persyaratan SBKRI.

Payung hukum mengenai status kewarganegaraan Indonesia yang mengakui Tionghoa dan kelompok minoritas lainnya keluar melalui UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Disebut Komnas HAM, Peraturan yang baru ini secara prinsip meneruskan pemaknaan kembali tentang orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain dalam Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen dalam Penjelasan Pasal 2-nya.

Baca juga: Jokowi: Selamat Tahun Baru Imlek, di Masa Sulit Ini Segenap Lampion Harapan Kita Apungkan

UU 12/2006 juga mengoreksi pengertian istilah “kewarganegaraan” dari UU lama yaitu UU 42 tahun 1968 yang didasarkan pada penjelasan Pasal 26 ayat (1) sebelum amandemen.

Sebelum ada amandemen, Negara mengkategorikan warga negara Indoneisa menjadi orang Indonesia asli dan bangsa lain (bukan Indonesia Asli). Dengan lahirnya UU 12/2206, etnis Tionghoa dan minoritas lainnya dianggap sebagai orang Indonesia asli apabila kewarganegaraan Indonesianya diperoleh sejak kelahiran dan belum pernah menerima kewarganegaraan lain.

"Dengan prinsip tersebut, kebijakan SBKRI yang sebelumnya diwajibkan kepada minoritas Tionghoa dan sebagian minoritas India menjadi tidak berlaku secara hukum, terkecuali untuk mereka yang naturalisasi," sebut Komnas HAM.

Kisah Habibie dan masjid untuk muslim Tionghoa

Selain lewat kebijakannya, peran Habibie kepada masyarakat Tionghoa bisa terlihat saat ia menjadi Menristek di era Presiden Soeharto.

BJ Habibie merupakan salah satu tokoh yang membantu pembangunan Masjid Lautze yang berada di kawasan pecinan Jakarta. Masjid Lautze sendiri dibangun di sebuah ruko.

Di awal tahun 1990-an, bangunan Masjid Lautze masih berstatus sewa. Pihak yayasan kala itu belum mempunyai cukup uang untuk membeli bangunan tersebut.

Akhirnya, Habibie yang saat itu juga menjabat sebagai Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), menjadi donatur untuk membeli bangunan Masjid Lautze.

Baca juga: 25 Narapidana Khonghucu Terima Remisi Khusus Imlek Tahun 2022

"Tahun 1992 waktu itu suruh beli, kita cari donatur untuk beli karena pengurus belum punya dana untuk membeli. Singkat cerita waktu itu dapat dari Pak BJ Habibie, beliau meresmikan pas jadi ketua ICMI dan kalau tidak salah Menristek era itu," kata salah seorang pengurus Masjid Lautze, Yusman pada tahun 2020, seperti dikutip dari Kompas.com.

"Beliau membeli gedung ini, membayar gedung ini, dan mewakafkan gedung ini untuk yayasan, yang meresmikan langsung juga Beliau, ada kan itu tanda tangan Pak Habibie di bawah," sambungnya.

Hingga kini, Masjid Lautze pun tegak berdiri dengan misi menyebarkan ajaran muslim di wilayah pecinan. Masjid yang banyak digunakan muslim Tionghoa untuk beribadah itu berada di kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Nasdem dan PKB Dukung Prabowo-Gibran, PAN Sebut Jatah Kursi Menteri Parpol Koalisi Tak Terganggu

Nasdem dan PKB Dukung Prabowo-Gibran, PAN Sebut Jatah Kursi Menteri Parpol Koalisi Tak Terganggu

Nasional
Bilang Jokowi Sangat Nyaman, PAN Janjikan Jabatan Berpengaruh

Bilang Jokowi Sangat Nyaman, PAN Janjikan Jabatan Berpengaruh

Nasional
KPU Godok Aturan Baru Calon Kepala Daerah Pakai Ijazah Luar Negeri

KPU Godok Aturan Baru Calon Kepala Daerah Pakai Ijazah Luar Negeri

Nasional
Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis 'Pernah', Apa Maknanya?

Status Perkawinan Prabowo-Titiek Tertulis "Pernah", Apa Maknanya?

Nasional
Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Wamenhan Terima Kunjungan Panglima AU Singapura, Bahas Area Latihan Militer

Nasional
Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apa Pun

Pengamat: Anies Ditinggal Semua Partai Pengusungnya, Terancam Tak Punya Jabatan Apa Pun

Nasional
Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Pilkada 2024: Usia Calon Gubernur Minimum 30 Tahun, Bupati/Wali Kota 25 Tahun

Nasional
Menlu Sebut Judi 'Online' Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Menlu Sebut Judi "Online" Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Nasional
PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi 'Effect'

PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi "Effect"

Nasional
Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

Nasional
Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode sejak Menang Pilpres 2019

Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode sejak Menang Pilpres 2019

Nasional
Ikut Kabinet atau Oposisi?

Ikut Kabinet atau Oposisi?

Nasional
Gugat KPU ke PTUN, Tim Hukum PDI-P: Uji Kesalahan Prosedur Pemilu

Gugat KPU ke PTUN, Tim Hukum PDI-P: Uji Kesalahan Prosedur Pemilu

Nasional
Said Abdullah Paparkan 2 Agenda PDI-P untuk Tingkatkan Kualitas Demokrasi Elektoral

Said Abdullah Paparkan 2 Agenda PDI-P untuk Tingkatkan Kualitas Demokrasi Elektoral

Nasional
Halalbihalal dan Pembubaran Timnas Anies-Muhaimin Ditunda Pekan Depan

Halalbihalal dan Pembubaran Timnas Anies-Muhaimin Ditunda Pekan Depan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com