Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Warga Setuju dan Tolak Wacana Dihapusnya Sistem Rujukan BPJS Kesehatan

Kompas.com - 27/01/2022, 09:47 WIB
Vitorio Mantalean,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan berencana menjalankan program kelas rawat inap standar (KRIS) bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Seiring dengan proses penerapan kelas rawat inap standar/KRIS tersebut, BPJS Kesehatan bakal menyederhanakan sistem rujukan berjenjang.

"Rujukan berjenjang itu harus kita perbaiki jangan sampai terlalu banyak itu bisa kita kurangi sehingga pasien lebih enak begitu," kata Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI, Selasa (25/1/2025).

"Dalam proses penyusunan harus memperhatikan paling utama kepentingan dari peserta. Jangan sampai standardisasi menurunkan mutu dan proses-proses di BPJS Kesehatan," ujarnya.

Baca juga: Kelas Rawat Inap Jadi Tunggal, BPJS Kesehatan Bakal Pangkas Rujukan Berjenjang

Rencana ini disambut baik oleh para pengguna BPJS Kesehatan yang merasa repot dengan sistem rujukan berjenjang.

Sebab dalam sistem rujukan berjenjang, seseorang harus memeriksakan keluhannya terlebih dulu ke fasilitas kesehatan tingkat 1 yang ia daftarkan untuk kemudian memperoleh rujukan ke rumah sakit.

“Sekarang, kalau saya sakit lambung, harus pakai surat pengantar dulu (untuk dirujuk). Padahal sakit lambung kan mendadak,” ujar Yani (73) kepada Kompas.com, Rabu (26/1/2022).

Baca juga: Ekstra Puding Jadi Bayaran Bupati Langkat untuk Penghuni Kerangkeng yang Dipekerjakan

Yani, warga Jakarta, mengaku telah lebih dari 5 tahun mengalami komplikasi sejumlah penyakit. Ia menderita radang sendi karena penyakit autoimun.

Sejak 2016, otak sebelah kanannya didiagnosis mengecil. Pembuluh jantungnya juga mengalami penyumbatan sehingga pada November 2021 lalu dia harus mengalami tindakan.

Beberapa penyakit tersebut memaksanya mengonsumsi obat yang cukup banyak dan, menurut pengakuannya, cukup keras.

“Lambung saya jadi kena, efek obat-obatan itu,” akunya.

Baca juga: Johan Budi Ceramahi Pimpinan KPK: Tak Ada Gunanya Ajari Orang, kalau Anda Tak Berintegritas

 

Rasa sakit pada lambungnya datang tak dapat diterka, oleh sebab itu ia sewaktu-waktu butuh penanganan langsung ke poli gastroenterologi di rumah sakit.

“Tapi ya begitu, minta rujukan (ke rumah sakit langganan) pun 3 bulan sekali harus diperpanjang (di fasilitas kesehatan tingkat 1). Kalau tidak diperpanjang, sampai nungging kayak apa pun enggak bakal dilayani,” kata Yani memprotes.

Berbelit dan tak ramah pasien

Menurut dia, birokrasi ini merepotkan, tak masuk akal, dan tidak diperlukan. Terlebih, dengan riwayat berobatnya yang cukup panjang, dokter-dokter di rumah sakit langganannya sudah mengenalnya.

Setali tiga uang, Tisya (55), warga Cimahi, juga menyebut bahwa mekanisme rujukan berjenjang ini tak efisien.

Tisya merupakan penyintas kanker ovarium. Saat ini, untuk keperluan kontrol, ia tak lagi memakai layanan BPJS Kesehatan.

Baca juga: Menkes: Kita Tidak Mau BPJS Kesehatan Defisit, Harus Positif

“Aku pernah (memakai layanan BPJS Kesehatan), tapi tidak mau lagi karena ribet,” kata Tisya kepada Kompas.com, Rabu.

Tisya menggunakannya sekitar 6 tahun lalu, ketika ia baru saja rampung menjalani operasi besar pengangkatan tumornya.

“Setelah operasi itu kan harus kontrol. Itu saya mulai menggunakan BPJS. Hanya saja memang harus melalui faskes 1, 2, 3, itu memakan waktu sangat lama. Di faskes tingkat 1 itu, kami ambil antrean sejak jam 06.00 padahal puskesmas buka jam 08.00. Kita dirujuk ke rumah sakit sekitar jam 11.00, lalu dikatakan dokter akan datang jam 14.00,” tuturnya.

Baca juga: Dirut BPJS Kesehatan Ungkap Rencana NIK Gantikan Nomor Kepesertaan

“Ternyata dokter baru bisa masuk ruangan jam 16.00. Bayangkan, kami dari jam 06.00 menunggu. Itu saya menunggu sampai pucat, namanya juga baru operasi besar,” ungkap Tisya.

Kerumitan semacam itu terpaksa ia tempuh karena ia perlu menjalani kemoterapi untuk penyembuhan total dari kankernya.

Tanpa layanan BPJS Kesehatan, ia akui perlu merogoh kocek dalam guna menutupi biaya kemoterapi tersebut.

Ia mengaku cukup beruntung karena jarak dari kediamannya ke RS rujukan di pusat Kota Bandung tak begitu jauh.

Menurutnya, di sana, antrean pasien lain juga mengular panjang. Mereka adalah pasien-pasien dari jauh yang penyakitnya hanya dapat ditangani dengan rujukan di RS tersebut.

Kini, setelah ia dinyatakan sembuh dari kanker, Tisya memilih untuk menggunakan uang pribadi untuk keperluan kontrol guna menghemat duit, waktu, dan tenaga.

Baca juga: Anak Eks Pejabat Ditjen Pajak Diduga Turut Cuci Uang: Beli Jam Tangan Senilai Hampir Rp 900 Juta

“Jangan lupa, kalau kita (menunggu rujukan faskes tingkat 1) dari subuh, kita minum, makan, dan lain-lain, sama saja (pengeluarannya). Jadi, untuk apa buang-buang energi lagi. Skrining di puskesmas juga enggak banyak gunanya, kadang-kadang seperti menggugurkan kewajiban saja, formalitas (untuk minta surat rujukan),” ungkap Tisya.

“Bukan repot, kita saja yang terbiasa langsung dilayani,” ucap dia.

Teliti pilih RS ramah peserta BPJS

Ada yang Namun demikian, sebagian kalangan menilai bahwa sistem rujukan berjenjang ini tak semerepotkan yang dikira.

Sinta (26) sudah sejak Agustus 2021 menjadi kepanjangan tangan untuk mengurus administrasi kesehatan bundanya yang mengalami masalah pada matanya.

Baca juga: Foto AHY Jadi Sorotan karena Pakai Rompi Militer di Samping Unimog, Demokrat: Kebetulan Saja

Masalah itu rupanya berupa tumor yang tumbuh di antara mata dengan otaknya. Baru pada bulan Januari 2022 ini, bundanya beroleh kesempatan operasi pengangkatan tumor di salah satu rumah sakit di Jakarta.

Selama sekira 5 bulan itu, Sinta mengaku tak banyak mengalami kendala berarti. Bundanya berulang kali dirujuk secara berjenjang hingga akhirnya ditangani seorang spesialis saraf.

“Karena sudah ada surat rujukan dari faskes pertama, administrasinya justru berlangsung mulus-mulus saja. Yang penting ada surat rujukan yang jelas,” kata Sinta kepada Kompas.com, Rabu.

“Memang ada beberapa tahap yang agak menguras tenaga, tapi saya puas karena seluruh biaya operasi Ibu dibayar penuh. Tanpa BPJS Kesehatan, saya perlu keluar uang sekitar Rp 248 juta. Kita sebagai pasien hanya perlu sedikit sabar, ya, dan paham skema administasinya seperti apa, dan tahu RS mana saja yang ramah pasien BPJS,” jelasnya.

Senada dengan Sinta, Bondan (29) juga berpengalaman mengurusi administrasi BPJS Kesehatan untuk pamannya yang menderita stroke.

Warga Depok tersebut berujar, beberapa waktu lalu pamannya memerlukan operasi kepala karena terjadi penggumpalan darah di sana. Tindakan ini jelas membutuhkan biaya besar.

Oleh karenanya, Bondan berinisiatif membawa hasil diagnosis dari dokter RS swasta yang merawat pamannya untuk kali pertama, ke puskesmas sekitar tempat tinggalnya.

“Saya bahkan bawa itu semua ke puskesmas tanpa paman saya. Melihat hasil diagnosis itu, puskesmas setuju untuk merujuk paman ke rumah sakit di mana dia bisa dilakukan operasi kepala,” ujar Bondan kepada Kompas.com, Rabu.

Operasi berjalan lancar dan seluruh biaya ditanggung negara.

Baik Bondan maupun Sinta sama-sama khawatir bila sistem rujukan berjenjang ini dihapus. Mereka cemas, seluruh pasien akan langsung menumpuk di RS tanpa mengalami skrining terlebih dulu di faskes tingkat 1.

Akibatnya, antrean pasien BPJS Kesehatan di RS bisa jadi semakin panjang, padahal barangkali sebagian pasien memiliki keluhan yang dapat diatasi di puskesmas.

“Karena antreannya saat ini saja sudah sepanjang itu. Saya tiap antar Ibu ke RS, minimal mengantre 3 jam. Kalau sistem rujukan berjenjang dihapus, jumlah RS yang melayani pasien BPJS Kesehatan harus lebih banyak,” ujar Sinta.

“Kadang orang kelas menengah seperti kita yang sebetulnya malas, jadi merasanya repot. Padahal bukan repot, tetapi kita kebiasaan apa-apa langsung dilayani,” ujar Bondan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Jokowi dan PDI-P, Projo: Jangan karena Beda Pilihan, lalu Dianggap Berkhianat

Soal Jokowi dan PDI-P, Projo: Jangan karena Beda Pilihan, lalu Dianggap Berkhianat

Nasional
Surya Paloh Buka Peluang Nasdem Usung Anies pada Pilkada DKI

Surya Paloh Buka Peluang Nasdem Usung Anies pada Pilkada DKI

Nasional
Dukung Prabowo-Gibran, Surya Paloh Sebut Nasdem Belum Dapat Tawaran Menteri

Dukung Prabowo-Gibran, Surya Paloh Sebut Nasdem Belum Dapat Tawaran Menteri

Nasional
PKS: Pak Anies Sudah Jadi Tokoh Nasional, Kasih Kesempatan Beliau Mengantarkan Kader Kami Jadi Gubernur DKI

PKS: Pak Anies Sudah Jadi Tokoh Nasional, Kasih Kesempatan Beliau Mengantarkan Kader Kami Jadi Gubernur DKI

Nasional
Soal Bertemu Prabowo, Sekjen PKS: Tunggu Saja, Nanti Juga Kebagian

Soal Bertemu Prabowo, Sekjen PKS: Tunggu Saja, Nanti Juga Kebagian

Nasional
Prabowo Absen dalam Acara Halalbihalal PKS

Prabowo Absen dalam Acara Halalbihalal PKS

Nasional
Projo: Jokowi Dukung Prabowo karena Ingin Penuhi Perjanjian Batu Tulis yang Tak Dibayar Megawati

Projo: Jokowi Dukung Prabowo karena Ingin Penuhi Perjanjian Batu Tulis yang Tak Dibayar Megawati

Nasional
Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Langkah Mahfud Membersamai Masyarakat Sipil

Nasional
5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

5 Smelter Terkait Kasus Korupsi Timah yang Disita Kejagung Akan Tetap Beroperasi

Nasional
Deretan Mobil Mewah yang Disita dalam Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Deretan Mobil Mewah yang Disita dalam Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Nasional
[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

Nasional
Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com