JAKARTA, KOMPAS.com - Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Siti Ruhaini Dzuhayatin mengatakan, penandatanganan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Singapura merupakan wujud menguatnya kewibawaan kepemimpinan Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
Hal itu juga menjadi bukti bahwa reputasi pemerintah saat ini terkait tata kelola yang transparan dan akuntabel semakin membaik.
"Konsekuensinya Indonesia harus membuktikan mampu memberantas segala kejahatan yang merendahkan martabat dan menghancurkan sendi keadilan, seperti korupsi, kejahatan ekstrimisme, atau kejahatan kemanusiaan lainnya," kata Ruhaini dalam keterangannya pada Rabu (26/1/2022).
Baca juga: Perjanjian Ekstradisi Diteken, Koruptor hingga Teroris Tak Lagi Bisa Bersembunyi di Singapura
Menurut dia, kerjasama ekstradisi dengan Singapura yang dikenal dengan good dan clean governance akan menaikkan leverage Indonesia di mata dunia. Sebab posisi Indonesia dalam membangun kerjasama internasional semakin kuat, baik di bidang politik, ekonomi, atau bidang strategis lainnya.
Ruhaini juga menyinggung soal penandatanganan kesepakatan pengambilalihan kendali udara atau flight information region (FIR) di Natuna dari Singapura. Ia menilai, kesepakatan tersebut harus bisa terkonsolidasi dalam agenda strategis dan program prioritas.
"Tidak hanya di kementerian/lembaga tapi juga semua unsur termasuk dunia usaha dan masyarakat sipil. KSP akan mengawal itu," ujar Ruhaini.
Kesepakatan Indonesia dengan Singapura dalam pengambilalihan FIR di Natuna, sambung dia memiliki tiga substansi penting, yakni kepentingan substantif kebangsaan, kepentingan politis strategis kenegaraan, dan kedaulatan hakiki.
"Ini menegaskan Indonesia sebagai the emerging country yang punya kewibawaan politis serta modalitas sumberdaya produktif dan kompetitif," kata Ruhaini.
"Sekaligus menguatkan kepentingan resiliensi sosial menghadapi globalisasi pada era revolusi industri 4.0," tambahnya.
Pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong dalam acara Leader's Retreat di Bintan, Kepulauan Riau, Selasa kemarin melahirkan beberapa kesepakatan di bidang politik, hukum, dan keamanan.
Beberapa kesepakatan dilanjutkan dengan penandatanganan perjanjian. Di antaranya soal pengambilalihan kendali udara (FIR) di Natuna dari Singapura dan perjanjian ekstradisi dengan memperpanjang masa retroaktif dari semula 15 tahun menjadi 18 tahun.
Perjanjian yang mulai diupayakan pemerintah Indonesia sejak 1998 silam tersebut ditandatangani oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly dan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum Singapura K. Shanmugam.
Baca juga: MAKI Berharap Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura Tak Hanya di Atas Kertas
“Setelah melalui proses yang sangat panjang akhirnya perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura ini dapat dilaksanakan,” ujar Yasonna, dilansir dari siaran pers di laman resmi Kementerian Hukum dan HAM.
Menkumham menjelaskan, ruang lingkup perjanjian ekstradisi Indonesia – Singapura adalah kedua negara sepakat untuk melakukan ekstradisi bagi setiap orang yang ditemukan berada di wilayah negara diminta dan dicari oleh negara peminta untuk penuntutan atau persidangan atau pelaksanaan hukuman untuk tindak pidana yang dapat diekstradisi.
“Perjanjian Ekstradisi ini akan menciptakan efek gentar (deterrence) bagi pelaku tindak pidana di Indonesia dan Singapura,” ujarnya.
Selain itu, dengan adanya perjanjian ekstradisi Indonesia – Singapura ini akan mempersempit ruang gerak pelaku tindak pidana di Indonesia dalam melarikan diri. Pasalnya, Indonesia telah memiliki perjanjian dengan negara mitra sekawasan di antaranya Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, Australia, Republik Korea, Republik Rakyat Tiongkok, dan Hong Kong SAR.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.