Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hakim dan Panitera Jadi Tersangka Suap, MAKI Desak Kewenangan Komisi Yudisial Diperkuat

Kompas.com - 23/01/2022, 15:45 WIB
Irfan Kamil,
Rakhmat Nur Hakim

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mendorong kewenangan Komisi Yudisial (KY) diperkuat dalam mengawasi lembaga peradilan.

Hal itu disampaikan Boyamin, menyusul hakim dan panitera pengganti Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (19/1/2022) lalu.

Menurut Boyamin, pernah ada keputusan bersama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung (MA) untuk mengawasi hakim. Namun, kemudian keputusan itu dibatalkan.

Baca juga: MA Dukung Penegakan Hukum KPK Terkait OTT Hakim-Panitera PN Surabaya

"Selama ini fungsi KY itu malah justru semakin didegradasi oleh MA sendiri. Dulu pernah ada keputusan bersama MA-KY untuk mengawasi hakim tapi kemudian dibatalkan sendiri," ujar Boyamin kepada Kompas.com, Minggu (23/1/2022).

"Ini yang kemudian semakin mengecilkan arti KY, pada posisi ini kemudian tidak cukup karena mereka berdalih pengawasan internal ada pada Badan Pengawas Mahkamah Agung," ucap dia.

Boyamin berpendapat, tidak terlibatnya Komisi Yudisial dalam pengawasan hakim justru mengerdilkan fungsi KY sebagai lembaga yang menjaga perilaku hakim.

Menurut dia, semestinya KY menjadi lembaga independen yang secara maksimal dapat mengawasi seluruh hakim yang ada di Indonesia. 

Ia menilai, sebagai pihak internal MA, Badan Pengawas akan kesulitan memberikan pengawasan terhadap hakim-hakim di Mahkamah Agung.

"Mestinya tetap diserahkan kepada Komisi Yudisial untuk tetap bisa mengawasi. Sehingga fungsi check and balance dari pihak luar yang independen ini pasti akan mengawasi lebih bagus," ucap Boyamin.

Baca juga: OTT Hakim PN Surabaya: Dugaan Kongkalikong Bubarkan Perusahaan untuk Bagi Keuntungan

"Jadi, saya tetap mendorong Komisi Yudisial difungsikan kembali secara maksimal termasuk rekrutmen hakim awal itu KY harus terlibat. Karena apa? Semakin banyak terlibat, pengawasan pasti lebih bagus," tutur dia.

Seperti diketahui, KPK menangkap hakim Itong Isnaini Hidayat dan panitera pengganti PN Surabaya, Hamdan, dalam OTT Rabu lalu.

Selain itu, pengacara PT Soyu Giri Primedika, Hendro Kasiono, juga ditangkap KPK. Kini, ketiganya telah ditetapkan sebagai tersangka suap penanganan perkara.

Dalam kasus ini, KPK menduga para tersangka terlibat kongkalikong untuk mengurus perkara pembubaran PT Soyu Giri Primedika.

Hendro yang ditunjuk sebagai pengacara PT Soyu Giri Primedika diduga menghubungi Hamdan guna menawarkan uang jika hakim dalam persidangan memutuskan untuk membubarkan perusahaan kliennya.

Baca juga: Itong Isanini Tersangka Suap, KY Ungkap Laporan Pelanggaran Etik Hakim di Jatim Ranking Dua

Tujuannya, agar aset PT Soyu Giri Primedika senilai Rp 50 miliar bisa dibagi. Untuk menjalankan keinginan itu, KPK menduga Hendro dan PT Soyu Giri Primedika telah menyiapkan dana senilai Rp 1,3 miliar.

Dana itu akan dialokasikan untuk memberi suap para hakim mulai dari pengadilan tingkat pertama hingga MA.

Itong sebagai hakim di tingkat pertama diduga menyetujui tawaran itu. Kemudian Hendro bermaksud memberi uang muka senilai Rp 140 juta pada Itong melalui Hamdan.

Saat peyerahan uang itu dilakukan, KPK melakukan tangkap tangan pada keduanya dan melanjutkan penangkapan pada Itong.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Nasional
Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Nasional
Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com