Hakim anggota Ali Muhtarom menjabarkan beberapa pertimbangan majelis hakim tidak memberikan vonis sesuai tuntutan jaksa yang meminta agar Heru dijatuhi hukuman mati.
Pertama, jaksa dinilai keluar dari asas penuntutan. Sebab, jaksa menuntut Heru dengan pasal yang berbeda dari yang digunakan dalam dakwaan.
Heru didakwa dengan dengan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001.
Namun, ia dituntut hukuman mati menggunakan Pasal 2 Ayat (2) dalam UU yang sama.
Baca juga: Terdakwa Kasus Asabri, Heru Hidayat, Dijatuhi Pidana Tambahan Berupa Uang Pengganti Rp 12,6 Triliun
Kedua, jaksa disebut tidak bisa membuktikan bahwa Heru melakukan tindak pidana korupsi sesuai ketentuan Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor.
“Berdasarkan fakta terdakwa melakukan tindak pidana korupsi pada saat situasi negara aman, dan tidak terbukti melakukan pengulangan tindak pidana korupsi,” kata hakim Ali.
Alasan terakhir, pemberian hukuman mati yang diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor bersifat fakultatif atau tidak diwajibkan.
“Artinya, tidak ada keharusan untuk menjatuhkan hukuman mati,” ucapnya.
Dijatuhi pidana pengganti
Meski Heru tak dijatuhi hukuman mati, majelis hakim mengenakan pidana pengganti kepadanya.
“Menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti senilai Rp 12,643 triliun,” papar hakim Eko.
Majelis hakim lantas meminta sejumlah barang bukti yang disita jaksa dari Heru untuk dikembalikan.
Alasannya, barang-barang tersebut tidak berkaitan dengan perkara atau dibeli sebelum Heru melakukan tindak pidana korupsi di PT Asabri.
Baca juga: Divonis Nihil, Terdakwa Kasus Asabri Heru Hidayat Lolos dari Tuntutan Hukuman Mati
Sehingga, majelis hakim menyatakan barang bukti itu tidak dibeli dengan menggunakan hasil korupsi pada perkara ini.
Adapun barang bukti yang harus dikembalikan oleh jaksa pada Heru adalah 18 unit kapal. Salah satunya adalah kapal milik LNG Aquarius milik PT Hanochem Shipping.