Menurut pria yang telah mengabdikan waktu 10 tahun di LBM Eijkman itu, hanya satu yang paling masuk akal dari 5 opsi yang disediakan yaitu opsi keempat, yakni mereka perlu melanjutkan studi S3.
Namun, opsi tersebut juga hampir mustahil dipenuhi.
"Itu Oktober mereka bilang (ada opsi itu), tapi Desember sudah harus ada LOA (letter of acceptance -- surat tanda diterima) dari universitas tujuan," kata dia.
"Untuk S3 itu kan banyak pertimbangan, mulai dari keluarga, finansial, komitmen terhadap rencana penelitian, lalu juga harus mendesain penelitian, mencari supervisor. Dua bulan memenuhi itu berat sekali."
Sementara itu, beberapa ilmuwan BPPT pun memilih untuk mengadukan nasib mereka ke Komnas HAM.
Paguyuban Pegawai Pemerintah Non-PNS (PPNPN) BPPT mencatat, ada ratusan tenaga yang dipaksa hengkang oleh BRInd ari tiga balai di BPPT.
Baca juga: Lembaga Eijkman Diprediksi Melemah Usai Peleburan ke BRIN
Sekretaris Paguyuban Rudi Jaya menyebut bahwa ratusan ilmuwan BPPT yang bernasib serupa dengan mereka tidak menuntut pesangon, tetapi hanya dikaryakan kembali.
Terlebih lagi, mayoritas dari mereka usianya sudah terkuras lantaran mengabdi belasan tahun di sana, sebelum terpaksa angkat kaki secara tiba-tiba dan sepihak akibat keberadaan BRIN.
"Ketika terjadi pemutusan kerja, kami bingung sekarang mau seperti apa. Karena sekarang mau usaha juga dalam masa pandemi. Kami mau kerja lagi juga mentok di umur," ucap Rudi kepada wartawan di kantor Komnas HAM.
"Tuntutan kami tidak terlalu besar. Kami hanya menuntut belas kasihan dari para pimpinan kami, karena dalam masa seperti ini (pandemi Covid-19), tanggung jawab kami sebagai tulang punggung keluarga kan berat sekali. Pilihan kami hanya meminta untuk dipekerjakan kembali," lanjutnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.