"KPK menangani satu orang pihak swasta, sedangkan POM TNI menangani tersangka dengan latar belakang militer," kata Laode melalui keterangan tertulis, Selasa (12/11/2019).
Baca juga: TNI Hentikan Kasus Korupsi Helikopter AW-101, Panglima Andika: Saya Akan Pelajari
Pernyataan Laode menanggapi pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD yang menyebutkan bahwa Presiden Jokowi pernah menyampaikan laporan kepada KPK. Namun, kasusnya tak kunjung diungkap.
Awalnya, Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) saat itu, Marsekal Agus Supriatna menyebutkan, pihaknya akan membeli enam unit helikopter yang berasal dari Inggris tersebut.
Rinciannya, tiga unit untuk alat angkut berat dan tiga unit untuk kendaraan VVIP. Namun, Presiden Jokowi pada Desember 2015 menolak usulan pengadaan helikopter tersebut.
Menurut Jokowi, harga helikopter itu terlalu mahal di tengah kondisi perekonomian nasional yang belum terlalu bangkit.
Baca juga: KPK Ajak Mahfud MD Ikut Kontribusi dalam Kasus Helikopter AW-101
Setahun kemudian, TNI AU tetap membeli helikopter tersebut meski mendapat penolakan Presiden.
Meski demikian, KSAU menegaskan bahwa helikopter yang dibeli hanya satu unit. Helikopter tersebut juga dibeli dengan anggaran TNI AU, bukan Sekretariat Negara.
Setelah lelang dilaksanakan, diduga terdapat selisih harga antara harga yang ditetapkan di dalam lelang dengan kerja sama yang telah dilakukan dengan produsen helikopter tersebut.
Saat itu, menurut Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan, Irfan telah melakukan kerja sama dengan produsen AgustaWestland di Inggris dan Italia.
Kontrak pembelian yang disepakati waktu itu senilai Rp 514 miliar. Namun, ketika lelang dilakukan dan PT DJM ditetapkan sebagai pemenang, nilai kontrak dengan TNI AU dinaikkan menjadi Rp 738 miliar.
Baca juga: KPK: TNI Hentikan Penyidikan Kasus Korupsi Helikopter AW-101
Dengan demikian, terdapat selisih Rp 224 miliar yang dinilai menjadi risiko kerugian negara dalam proses pengadaannya.
Meski demikian, hingga kini BPK belum menyelesaikan audit kerugian negara dalam peristiwa tersebut. Padahal, KPK telah meminta penghitungan tersebut sejak jauh sebelumnya.
Belum adanya audit kerugian negara ini dinilai menjadi salah satu alasan KPK terlalu prematur dalam menetapkan tersangka pada kasus ini.
"Dalam kasus ini, KPK sepertinya terlalu prematur dalam menetapkan tersangka," kata dosen hukum keuangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dian Simatupang, saat sidang gugatan praperadilan yang diajukan tersangka Irfan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 7 November 2017.
Namun, saat itu KPK berdalih penyidik KPK dapat melakukan penghitungan kerugian negara.