Salin Artikel

Saat TNI Hentikan Kasus Korupsi Helikopter AW-101 dan Panglima Andika Angkat Bicara...

Penghentian penyidikan ini disampaikan oleh Direktur Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto.

"Masalah helikopter AW-101, koordinasi terkait masalah atau informasi yang berhubungan dengan pihak dari TNI sudah dihentikan proses penyidikannya," ujar Setyo, dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (27/12/2021).

Dalam kasus ini, TNI telah menetapkan lima tersangka. Mereka adalah Kepala Unit Pelayanan Pengadaan Kolonel Kal FTS SE, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa Marsekal Madya TNI FA, dan pejabat pemegang kas Letkol administrasi WW.

Lainnya, staf pejabat pemegang kas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu, yakni Pelda (Pembantu Letnan Dua) SS dan asisten perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara Marsda TNI SB.

Selain itu, staf pejabat pemegang kas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu, yakni Pelda (Pembantu Letnan Dua) SS dan asisten perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara Marsda TNI SB.

Sementara itu, KPK menetapkan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) Irfan Kurnia Saleh sebagai tersangka.

Panglima angkat bicara

Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa pun angkat bicara terkait langkah menghentikan penyidikan pembelian heli di lingkungan TNI tersebut.

Andika menyatakan bahwa dirinya akan menelusuri terlebih dahulu mengenai penghentian kasus ini.

"Saya harus telusuri dulu ya. Saya masih orientasi tugas-tugas saya lebih dalam, sehingga masih belum semua hal saya ketahui," ujar Andika kepada Kompas com, Selasa (28/12/2021) pagi.

Selain itu, Andika akan mempelajari berkas-berkas yang melibatkan TNI.

"Saya akan pelajari dulu berkas-berkas yang sudah dibuat sampai dengan kesimpulan," kata mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) itu.

Terkendala alat bukti

Penyidikan kasus pengadaan helikopter AW-101 di lingkungan TNI yang juga ditangani oleh KPK itu menjadi salah satu kasus yang mendapat perhatian Presiden Joko Widodo.

Wakil Ketua saat itu, KPK Laode M Syarif menyatakan, kompleksitas penanganan dan pengumpulan alat bukti menjadi salah satu kendala dalam penanganan kasus ini.

Padahal, pada saat yang sama, KPK telah berkoordinasi dengan POM TNI untuk pengungkapan kasus.

"KPK menangani satu orang pihak swasta, sedangkan POM TNI menangani tersangka dengan latar belakang militer," kata Laode melalui keterangan tertulis, Selasa (12/11/2019).

Pernyataan Laode menanggapi pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD yang menyebutkan bahwa Presiden Jokowi pernah menyampaikan laporan kepada KPK. Namun, kasusnya tak kunjung diungkap.

Ditolak Jokowi

Kasus ini bermula saat TNI Angkatan Udara melakukan pengadaan satu unit helikopter AgustaWestland AW101 pada 2016.

Awalnya, Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) saat itu, Marsekal Agus Supriatna menyebutkan, pihaknya akan membeli enam unit helikopter yang berasal dari Inggris tersebut.

Rinciannya, tiga unit untuk alat angkut berat dan tiga unit untuk kendaraan VVIP. Namun, Presiden Jokowi pada Desember 2015 menolak usulan pengadaan helikopter tersebut.

Menurut Jokowi, harga helikopter itu terlalu mahal di tengah kondisi perekonomian nasional yang belum terlalu bangkit.

Setahun kemudian, TNI AU tetap membeli helikopter tersebut meski mendapat penolakan Presiden.

Meski demikian, KSAU menegaskan bahwa helikopter yang dibeli hanya satu unit. Helikopter tersebut juga dibeli dengan anggaran TNI AU, bukan Sekretariat Negara.

Selisih harga

Setelah lelang dilaksanakan, diduga terdapat selisih harga antara harga yang ditetapkan di dalam lelang dengan kerja sama yang telah dilakukan dengan produsen helikopter tersebut.

Saat itu, menurut Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan, Irfan telah melakukan kerja sama dengan produsen AgustaWestland di Inggris dan Italia.

Kontrak pembelian yang disepakati waktu itu senilai Rp 514 miliar. Namun, ketika lelang dilakukan dan PT DJM ditetapkan sebagai pemenang, nilai kontrak dengan TNI AU dinaikkan menjadi Rp 738 miliar.

Dengan demikian, terdapat selisih Rp 224 miliar yang dinilai menjadi risiko kerugian negara dalam proses pengadaannya.

Meski demikian, hingga kini BPK belum menyelesaikan audit kerugian negara dalam peristiwa tersebut. Padahal, KPK telah meminta penghitungan tersebut sejak jauh sebelumnya.

Prematur tetapkan tersangka

Belum adanya audit kerugian negara ini dinilai menjadi salah satu alasan KPK terlalu prematur dalam menetapkan tersangka pada kasus ini.

"Dalam kasus ini, KPK sepertinya terlalu prematur dalam menetapkan tersangka," kata dosen hukum keuangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dian Simatupang, saat sidang gugatan praperadilan yang diajukan tersangka Irfan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 7 November 2017.

Namun, saat itu KPK berdalih penyidik KPK dapat melakukan penghitungan kerugian negara.

Hal itu telah dilakukan dan diperiksa kembali oleh ahli dari BPK saat dilakukan rapat koordinasi.

Kesulitan periksa perwira TNI

Hal lain yang menjadi kendala, menurut Juru Bicara KPK saat itu Febri Diansyah, sulitnya menjadwalkan pemeriksaan terhadap sejumlah perwira menengah.

Padahal, KPK dan POM TNI telah bekerja sama sebelumnya untuk menyelesaikan kasus ini.

"Sebelumnya KPK telah berkoordinasi dengan POM TNI dalam penanganan perkara ini. Semua saksi dalam kasus ini tidak hadir. Kami di KPK ataupun POM TNI belum mendapat konfirmasi alasan ketidakhadiran," kata Febri.

Sementara itu, pihak TNI mengaku kesulitan mengungkap inisiator pembelian helikopter tersebut.

Dari hasil penyelidikan POM TNI, penyimpangan diduga terjadi dalam proses pengadaan.

"Dalam tindak pidana korupsi inisiator itu pasti ada dan kami kejar terus di mana inisiator pembelian ini sampai bisa terjadi," kata Komandan Pusat Polisi Militer Mayor Jenderal TNI Dodik Wijanarko, 4 Agustus 2017.

Menurut dia, sebenarnya POM TNI telah memperoleh gambaran inisiator pengadaan. Namun, pihaknya memerlukan sejumlah pembuktian untuk memperoleh kepastian hukum lainnya.

Ia menegaskan, tak ada kesengajaan dari pihak POM TNI untuk memperlambat proses tersebut. Sebab, untuk memastikannya tak bisa dilakukan secara gegabah dan ceroboh.

"Sudah kelihatan bayang-bayang insiatornya siapa. Tetapi hukum tidak bisa demikian, hukum perlu keterangan saksi dan keterangan yang lain, sehingga ketika kita menetapkan tersangka lainnya sah," ujar dia.

Tersangka swasta masih diproses

Kendati penyidikannya terhadap oknum TNI dihentikan, KPK memastikan penetapan tersangka dari pihak swasta dalam penyidikan kasus AW-101 itu prosesnya tetap jalan.

Menurut Setyo, KPK masih melakukan koordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk memperoleh perhitungan nilai kerugian negara dalam perkara tersebut.

"Bagaimana dengan penanganan tersangka AW-101 yang ada di sini? yang pihak swastanya? untuk sampai dengan saat ini ini prosesnya masih jalan, kita lakukan koordinasi antara lain sebenarnya kita waktu itu sudah akan mengundang dari pihak BPK," ucap Setyo.

"Saya yakin beberapa hari ke depan mungkin di awal tahun koordinasi itu segera ditindaklanjuti dengan BPK untuk semakin memperjelas kira-kira apa saja yang masih kurang atau dibutuhkan oleh para pihak auditor," tutur dia.

https://nasional.kompas.com/read/2021/12/29/07251241/saat-tni-hentikan-kasus-korupsi-helikopter-aw-101-dan-panglima-andika-angkat

Terkini Lainnya

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

PSI Buka Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Pilkada 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke