JAKARTA, KOMPAS.com - Muktamar ke-34 Nahdlatul Ulama (NU) digelar pada Rabu hingga Jumat, 22-24 Desember 2021 di Lampung.
Melalui forum itu, akan dipilih Rais Aam dan Ketua Umum PBNU yang baru. Agenda ini menarik perhatian publik lantaran muncul sejumlah nama yang digadang-gadang menempati kursi tertinggi ormas tersebut.
Pemilihan Rais Aam dan Ketua Umum PBNU yang baru rencananya digelar pada Kamis (23/12/2021) malam.
Baca juga: Muktamar NU Bakal Pilih Ketum, Ini Daftar Ketua Umum PBNU dari Masa ke Masa sejak 1926
Pemilihan rais aam atau pemimpin tertinggi NU sendiri akan dilakukan dengan sistem perwakilan atau ahlul halli wal aqdi (AHWA).
Tradisi pemilihan tersebut dimulai ketika Muktamar ke-33 NU di Jombang, Jawa Timur, 2015 lalu.
Sekretaris Panitia Pengarah Muktamar NU Asrorun Niam pada Kompas.id, Selasa (21/12/2021) mengatakan, ketentuan mengenai pemilihan Rais Aam dan Ketua Umum Pengurus Besar NU (PBNU) telah diatur dalam AD/ART hasil Muktamar Ke-33 NU di Jombang.
Baca juga: Sejarah Berdirinya NU: Lahir dari Pemikiran Para Kiai
Hal itu tertuang dalam Pasal 40 AD/ART NU yang berbunyi, "Rais Aam dipilih secara langsung melalui musyawarah mufakat dengan sistem ahlul halli wal aqdi (AHWA)".
Menurut pasal tersebut, AHWA terdiri dari sembilan ulama yang ditetapkan secara langsung dalam muktamar.
Kriteria utama yang dipilih menjadi AHWA ialah berakidah ahlussunah wal jama’ah annahdliyah, bersikap adil, alim, memiliki integritas moral, tawadhu (rendah hati), berpengaruh, dan memiliki pengetahuan untuk memilih pemimpin yang munadzdzim dan muharrik, serta wara’ dan zuhud.
Baca juga: Profil Said Aqil Siradj, Petahana yang Kembali Calonkan Diri dalam Muktamar Ke-34 NU
Adapun pada pasal yang sama dikatakan bahwa ketua umum PBNU dipilih secara langsung oleh muktamirin melalui musyawarah mufakat atau pemungutan suara dalam muktamar.
Sebelumnya, calon ketua umum harus menyampaikan kesediaannya secara lisan atau tertulis dan mendapatkan persetujuan dari rais aam terpilih.
Sebelum diatur dalam AD/ART hasil muktamar ke-33 Jombang, metode pemilihan rais aam sempat buntu dan gaduh.
Kala itu, muncul dua pendapat mengenai mekanisme pemilihan rais aam, yaitu melalui one man one vote atau dengan sistem perwakilan oleh para rais syuriah.
Penjabat sementara Rais Aam PBNU KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus dan para kiai sepuh akhirnya memutuskan untuk melakukan pemilihan rais aam dengan sistem perwakilan.
Baca juga: Profil Singkat Yahya Cholil Staquf, Calon Terkuat Ketum PBNU Pesaing Said Aqil
”Kalau Anda tidak bisa disatukan lagi, saya dengan para kiai memberikan solusi. Kalau bisa musyawarah, kalau tidak bisa pemungutan suara. Itu AD/ART kita. Karena ini urusan rais aam, kiai-kiai akan memilih pemimpin kiai,” ujar Gus Mus (Kompas, 5/8/2015).
Solusi dari Gus Mus dan sejumlah kiai sepuh NU itu pun akhirnya disepakati. Untuk pertama kalinya, mekanisme pemilihan rais aam diserahkan kepada semua rais syuriah dari pusat, wilayah, hingga cabang.
Kesepakatan di Jombang itu sekaligus mengembalikan sistem musyawarah mufakat pada pemilihan rais aam NU.
Sebelumnya, sejak Muktamar Ke-27 NU di Situbondo, Jawa Timur, hingga muktamar ke-32 di Makassar, Sulawesi Selatan, sistem yang dipakai untuk memilih rais aam berupa voting seperti di parlemen.
Namun, demikian, model pemilihan dengan sistem voting di NU justru dinilai berakibat buruk dan menghasilkan kelompok-kelompok atau geng.
Sementara, AHWA dinilai mampu mengembalikan sistem pemilihan pada sistem musyawarah mufakat yang sesuai dengan sila keempat Pancasila.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.