PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-VIII/2020 tentang uji formal UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memberi catatan serius terkait fungsi legislasi yang dimiliki Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 memberi atribusi kekuasaan pembentukan undang-undang (UU) kepada DPR.
Fungsi legislasi yang dimiliki DPR itu tidak kali ini saja menimbulkan masalah. Sebelumnya, pembentukan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga tak kalah memancing reaksi keras dari publik.
Karut-marut proses legislasi yang terjadi belakangan ini secara tidak langsung disebabkan karena DPR tidak memaksimalkan fungsi konstitusionalnya dengan baik. Akibatnya, kehormatan dan keluhuran DPR yang beririsan dengan moralitas lembaga wakil rakyat itu menjadi taruhannya.
Baca juga: Kehormatan DPR di Ujung Tanduk, MKD Diminta Tindak Lanjuti Dugaan Pelanggaran Etik Azis Syamsuddin
Padahal, konstitusi pasca-amandemen mendesain DPR yang kuat, berdaya, dan berintegritas. Akibatnya tak sedikit yang menganggap DPR pasca-amandemen konstitusi ini disebut legislative heavy, DPR yang amat kuat. Anggapan ini korelatif tentu bila dibandingkan dengan orde sebelumnya.
Penyebutan itu bukan tanpa musabab. Selain melekat atribusi kewenangan legislasi, pengawasan, dan penganggaran, DPR juga memiliki seabrek kewenangan lainnya baik melalui atribusi undang-undang dasar (UUD) maupun peraturan perundang-undangan turunan lainnya.
Di antaranya, urusan rekrutmen jabatan publik harus melalui pintu DPR. Sebut saja, kewenangan parlemen untuk mengonfirmasi calon hakim agung hasil seleksi dari Komisi Yudisial (KY) hingga calon panglima TNI harus melalui pintu parlemen.
Sayangnya, kewenangan yang dimiliki DPR itu tidak sepenuhnya dioptimalkan dengan baik. Alih-alih Parlemen mendayagunakan kewenangan yang dimiliki, dalam beberapa peristiwa, tak terkecuali UU Cipta Kerja, DPR tampak tak berdaya. Bahkan, sekadar menjalankan fungsinya sesuai aturan main pun tak dapat dilaksanakan secara optimal.
Fungsi konstitusional yang dimiliki DPR yakni legislasi, pengawasan, dan penganggaran dalam tarikan nafas yang sama erat kaitannya dengan kehormatan dewan. Apalagi bila membuka original intent pembahasan UUD 1945, atirbusi kewenangan tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi penumpukan kekuasaan di sisi eksekutif.
Dengan kata lain, atribusi kewenangan yang dimiliki DPR untuk mewujudkan keseimbangan cabang kekuasaan melalui mekanisme cheks and balances. Kewenangan tersebut sarat dengan nilai reformasi dan demokrasi. Karena itu, menjaga kehormatan sekaligus melaksanakan fungsi DPR menjadi sebuah keharusan.
Untuk mewujudkan hal tersebut, keberadaan alat kelengkapan dewan (AKD) yakni Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) memiliki relevansinya. Apalagi, tujuan keberadaan MKD untuk menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR (Pasal 119 UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD).
Meski dalam praktiknya, kerja MKD hanya fokus menjaga dan menegakkan kehormatan pribadi anggota DPR. Hal tersebut dapat dilihat di UU Nomor 17 Tahun 2014 maupun Peraturan Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik DPR. Padahal, keberadaan MKD bertujuan menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran DPR.
Aspek kehormatan dan keluhuran DPR bersumber dari dua sisi sekaligus yakni anggota DPR dan lembaga DPR. Setiap tindak tanduk dan prilaku anggota DPR akan memberi dampak terhadap lembaga DPR.
Begitu juga, setiap keputusan yang terkait dengan fungsi DPR juga memberi dampak terhadap DPR. Dua-duanya memiliki kontribusi konkret atas kehormatan dan keluhuran DPR.
Baca juga: Merusak Kehormatan DPR
Atas dasar itulah, semestinya area kerja etik MKD diperluas. Tidak hanya menyentuh pada urusan tindak tanduk dan prilaku pribadi anggota DPR saja. Namun lebih dari itu, MKD juga masuk pada penegakan kehormatan dan keluhuran DPR pada persoalan fungsi konstitusional DPR.
Dalam konteks tersebut, dibutuhkan terobosan politik dan hukum. Perluasan cakupan kerja MKD yang berdasarkan pada fungsi konstitusional DPR yakni legislasi, pengawasan dan penganggaran, mendesak untuk segera dilakukan. Perubahan tersebut dapat tercapai dengan catatan bila muncul kesadaran kolektif di Parlemen.