Dalam penindakan kasus korupsi, kata dia, asset recovery atau pemulihan aset dan peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) harus diutamakan.
Hal ini penting untuk menyelamatkan dan memulihkan keuangan negara, serta memitigasi pencegahan korupsi sejak dini.
"Saya mengapresiasi capaian asset recovery dan peningkatan PNBP kita di semester pertama tahun 2021 misalnya, Kejaksaan Agung berhasil mengembalikan kerugian negara dari penanganan kasus korupsi sekitar Rp 15 triliun," ucap Jokowi.
Lebih lanjut mantan Gubernur DKI Jakarta itu menjelaskan, Indonesia telah menjalin kerja sama dengan sejumlah negara terkait pengembalian aset tindak pidana.
Upaya ini dilakukan untuk mengoptimalkan pengejaran buron-buron pelaku korupsi, baik di dalam maupun luar negeri.
"Buron-buron pelaku korupsi bisa terus dikejar, baik di dalam maupun di luar negeri," kata Jokowi.
"Aset yang disembunyikan oleh para mafia, mafia pelabuhan, mafia migas, mafia obat, mafia daging, mafia tanah bisa terus dikejar dan pelakunya bisa diadili," kata dia.
Baca juga: Jokowi Ingin Buron Kasus Korupsi Terus Dikejar
Kerja sama internasional yang dimaksud Jokowi itu misalnya perjanjian hukum timbal balik dalam masalah pidana atau treaty on mutual legal assistance. Kerja sama ini disepakati Indonesia dengan Swiss dan Rusia.
Melalui kerja sama itu, Swiss dan Rusia bersedia membantu penelusuran, pembekuan, penyitaan, hingga perampasan aset hasil tindak pidana di luar negeri.
Meski kerap menekankan isu penanganan korupsi dalam pernyataan publiknya, Presiden Joko Widodo dinilai gagal sebagai pemimpin pemberantasan korupsi.
Hal itu disampaikan Ketua Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo menyikapi peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia.
Adnan menyampaikan sejumlah kegagalan Jokowi dalam praktik pemberantasan korupsi.
“Kebijakan politik revisi Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan terpilihnya komisioner KPK bermasalah,” tutur Adnan.
Dalam pandangan Adnan, kegagalan Jokowi juga terepresentasi dari tidak adanya sikap tegas terkait pemberhentian serampangan oleh KPK pada 57 pegawainya yang tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
Baca juga: ICW: Presiden Gagal Menjadi Panglima Pemberantasan Korupsi
“Presiden tidak mengambil tindakan berarti, meskipun rekomendasi lembaga negara seperti Ombudsman dan Komnas HAM yang menemukan praktik pelanggaran serius TWK KPK,” sebut dia.
Menilik ke belakang, Ombudsman menyatakan bahwa proses TWK KPK maladministrasi.
Sedangkan Komnas HAM menemukan banyak pelanggaran hak asasi manusia dalam penyelenggaraan tes tersebut.
“Agenda penguatan KPK sebagaimana disampaikan oleh Presiden jauh panggang dari api,” jelas Adnan.
“Jadi bisa dikatakan Presiden gagal menjadi panglima besar dalam agenda pemberantasan korupsi,” lanjutnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.