Partai perlu “mengomisariskan” orang-orang yang berjasa bagi partai di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) agar tidak dirongrong oleh hutang budi dan mengarahkan bisnis BUMN siapa tahu menguntungkan elite partai dan partai.
Saling mengakomodasi antara partai dan orang-orang yang ditunjuk menjadi gambaran utuh bagaimana politik akomodatif menjadi praktik yang normal.
Semua pihak yang dirasa memiliki kontribusi memenangkan partai akan mendapat porsi kekuasaan di berbagai lembaga, komisi, bahkan di kementerian.
Jangan heran, untuk menjadi pimpinan perguruan tinggi pun restu dari anggota dewan yang membidangi pendidikan menjadi unsur komplementer yang sangat diperlukan.
Dukungan Senayan sangat memperlancar urusan menjadi direktur politeknik atau rektor universitas, apalagi untuk mendapat “kue” proyek nasional.
Masalah besar Indonesia setelah menumbangkan rezim Orde Baru adalah gurita kekuasaan partai yang sedemikian merasuk ke berbagai sendi dan denyut kehidupan.
Urusan menjadi Ketua RW saja harus mempertimbangkan amannya kepentingan partai di wilayah itu. Untuk menjadi kepala desa pun harus mendapat dukungan partai. Menjadi komisioner semua komisi perlu “back up” partai.
Mungkin urusan buang hajat di jamban kelak akan butuh pertimbangan partai.
Masalah utama yang menggerogoti demokrasi di Indonesia saat ini tidak hanya terkait dengan institusi politik dan elite saja, tetapi juga isu lain termasuk lingkungan dan budaya.
Oleh karenanya penguatan demokrasi menjadi persoalan yang mendesak untuk mencegah “demokrasi tanpa demos”. Demokrasi yang meninggalkan kepentingan rakyatnya.
Sejatinya, demokrasi “hanya” digunakan sebagai alat bagi sekelompok oligarki untuk mendapatkan kekuasaan dan sumber daya.
Demokrasi telah “menelikung” asal usul makna yang begitu sakral yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan.
Meminjam pendapat Jeffrey Winters, seorang ilmuwan politik Amerika Serikat di Universitas Northwestern, oligarki saat ini menggunakan kekuatannya untuk mempertahankan kekuasaannya yang dipraktikkan bersamaan dengan politik transaksional.
Merenungi pembelaan Sekjen Kementerian Pertanian dan kisah sahabat-sahabat saya yang tengah memburu “restu” partai untuk menduduki berbagai posisi jabatan, saya teringat wejangan kakek dan ayah saya.
“Sak bejo-bejone wong kang lali, isih bejo wong kang eling lan waspodo.”
Seberuntung-untungnya orang yang lupa, masih beruntung orang yang ingat dan waspada.
Jangan sampai karena urusan duniawi, kita melupakan aturan dan menghalalkan segala cara.
“Dadi manungsa sing isa ngatur urip. Aja gelem diatur urip. Nanging aja nglalekake aturane sing gawe urip.”
Jadilah manusia yang dapat mengatur kehidupan. Jangan mau diatur oleh kehidupan tetapi jangan melupakan aturan Yang Membuat Hidup.
Leres nopo mboten? Benar apa tidak?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.