Beberapa pejabat Kementan yang mengenakan seragam Nasdem adalah Sekjen Kementan Kasdi Subagyono, Dirjen Tanaman Pangan Suwandi, Dirjen Hortikultura Prihasto Setyanto serta beberapa pejabat lainnya.
Mengingat posisi mereka adalah aparatur sipil negara (ASN) yang seharusnya menjunjung netralitas, maka mengenakan seragam partai politik jelas pelanggaran serius.
Sesuai etika ASN dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 2020 tentang Pakaian Dinas ASN, tidak ada pakaian dinas ASN yang motifnya loreng mirip seragam tentara.
Menterinya pun terkesan melakukan pembiaran bahkan mengizinkan anak buahnya menggunakan simbol-simbol politik.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN Pasal 2 huruf f menyatakan bahwa setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh mana pun dan tidak memihak kepada kepentingan siapa pun.
Pasal 9 ayat 2 menyebutkan, pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.
Bahkan ASN bisa diberhentikan secara tidak hormat jika menjadi anggota dan atau pengurus partai.
Ketentuan ini mengacu Pasal 84 ayat 4 (c) undang-undang yang sama. Secara lebih detail, disiplin pegawai negeri sipil diatur lebih rigid di Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Sekjen Kementan Kasdi Subagyono yang di foto tampak gagah berbaju loreng biru Kostranas memohon maaf atas seragam yang dikenakan. Ia mengatakan, seragam yang dikenakan jajarannya hanya untuk menghormati peringatan HUT Nasdem yang notabene merupakan partai asal Meteri Pertanian. Hati mereka tetaplah seorang birokrat.
Jawaban seorang sekretaris jenderal Kementan ini menjadi gambaran umum betapa seorang pegawai senior pun bisa meminta permahfuman seperti itu. Gambaran umum untuk menyenangkan hati menteri tanpa peduli aturan dan tata krama ASN.
Mungkin Sekjen Kementan ini lupa, Keputusan Menteri Pertanian Nomor 4391 Tahun 2013 tentang tata cara berpakaian seragam kedinasan yakni Senin dan Kamis memakai pakaian seragam kerja, Selasa dan Rabu mengenakan pakaian bebas, rapi, dan sopan, serta Jumat mengenakan pakaian motif batik nusantara.
Seragam loreng biru sangat jelas tidak ada dalam aturan ini.
Mengamankan jabatan, menyenangkan atasan, menjilat sana-sini serta tidak peduli dengan aturan menjadi wajah umum birokrat kita. Menteri harus dijilat maksimal agar posisi bisa teraih.
Saya kadang geli melihat wajah birokrat kita. Di era SBY berkuasa mereka sangat memuja “biru” selama satu dekade.
Saat Jokowi berkuasa, warna-warni pelangi koalisi nampak semarak di berbagai kementerian di dekade ini. Seperti bunglon yang bisa berubah warna tergantung lingkungannya.
Jadi jangan heran jika semua orang begitu mendamba dan memuja partai. Hidup mereka seakan tergantung pada partai.
Ada adagium yang bilang, tidak ada makan siang gratis. Artinya, tidak ada sesuatu yang cuma-cuma dan kebetulan. Semua pasti ada harga dan imbalannya. Demikian juga relasi antara partai dengan persona yang menggantungkan nasibnya pada partai.
Baca juga: Demokrasi Disandera Oligarki
Partai perlu “menanam” orang di Komisi Pemilihan Umum agar saat proses pencalegan, pemilihan umum, hingga penghitungan suara, proses penentuan anggota dewan terpilih sampai proses penggantian antar waktu bisa dikawal dengan baik dan lancar jaya.
Partai perlu “menaruh” orang di Badan Pengawas Pemilu agar andai terjadi kecurangan yang tidak disengaja ataupun “disengaja” bisa dibantu anulir. Setidaknya menghilangkan kecurangan atau malah mendiamkan saja.
Partai perlu “menempatkan” orang di Komisi Penyiaran Indonesia agar perlu memiliki “mata” di ranah penyiaran. Harapannya agar kecurangan yang dilakukan partai pesaingnya tidak merajalela di frekuensi milik publik. Sementara, pesan-pesan sponsor partainya bisa "cincailah".
Partai perlu “memendam” orang di Komisi Informasi Publik agar ketika ada sengketa informasi publik menyangkut kepentingan organ-organ elite partai atau partai bisa diselamatkan.