Ketiga perusahaan yang direkayasa laporan pajaknya oleh Angin Prayitno bersama kaki tangannya meliputi PT Jhonlin Baratama, PT Gunung Madu Plantations serta PT Bank Panin.
Dari Jhonlin Baratama, didapat uang pelicin 3 juta dolar Singapura, dari Gunung Madu Plantations mendapat kepretan Rp 15 miliar serta dari Bank Panin ditilep 500 ribu dollar Singapura.
Menelisik kasus-kasus yang melibatkan Angin Prayitno sebetulnya cukup mudah. Jika Direktorat Jenderal Pajak bisa meneropong ketidakcocokan profil pajak dengan pendapatan dan penghasilan wajib pajak, kenapa hal ini tidak berlaku untuk pegawai Kemenkeu?
Sepertinya adagium belati tajam untuk orang lain tetapi mejan untuk diri sendiri pantas disandang oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak pada khususnya dan Kementerian Keuangan pada umumnya.
Jauh sebelum kasus mafia pajak Angin Prayitno tersingkap, bau tidak sedap Angin sudah tercium KPK di November 2018 dalam kasus suap di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Ambon.
Jelang masa pensiunnya, Angin yang alumni S-1 Universitas Krisnadwipayana itu masuk di jajaran pejabat teras dan profilnya sebagai Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Ditjen Pajak masuk di website resmi Kementerian Keuangan. Profilnya lenyap seiring terkuaknya aksi “kongkalingkongnya” dengan wajib pajak besar.
Profil kekayaan Angin Prayitno pun juga mengundang decak. Dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) milik Angin Prayitno yang diunggah KPK, harta kekayaan Angin meningkat drastis sejak 2015.
Kekayaan Angin mencapai Rp 18 miliar lebih. Dan semua sudah mahfum, pelaporan harta kekayaan para pejabat selalu “dibuat kecil” yang di mata awam menjadi bahan candaan.
Andai saja Inspektorat menjalankan fungsinya dengan benar, tentu potensi uang negara yang hilang akibat permainan “nakal” orang dalam bisa diminimalisasi jika tidak sanggup menghilangkannya sama sekali.
Jika Anda punya kenalan pegawai pajak, lihat saja sebagian di foto profil Whatsapp-nya selalu santun dan menampilkan kesederhanaan dalam hidup. Ini terutama yang saya kenal. Kerap menampilkan bisnis sampingan seperti jualan kain atau makanan atau istrinya menjalankan usaha sampingan sebagai penjahit.
Sekali lagi tidak untuk men-judge. Mungkin keceplosan bicara, suatu ketika pegawai pajak yang saya kenal ini kerap membanggakan memiliki ratusan hektar kebun kelapa sawitnya di Sumatera, sementara saya juga tahu dia memiliki beberapa rumah di kompleks perumahan mewah di timur Jakarta.
Belum lagi jumlah kendaraan yang dimilikinya. Style mereka selalu merendah tetapi aset yang dimiliikinya tersebar di banyak daerah.
Untuk mencegah terjadinya “godaan” dan “silau” harta dari objek pajak yang diperiksanya, pemerintah sangat memperhatikan kesejahteraan pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.
Saya yakin, pemerintah tidak ingin pegawai pajak hidupnya miskin dan terjerat pinjaman online. Pegawai Ditjen Pajak Kementerian Keuangan merupakan pegawai negeri sipil (PNS) dengan tunjangan kinerja (tukin) tertinggi dibandingkan semua aparatur sipil negara di instansi pemerintah lainnya.
Tukin PNS Direktorat Jenderal Pajak diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 37 Tahun 2015. Tunjangan tertinggi yang dikenal dengan peringkat 27 mencapai Rp 117.375.000 untuk setiap bulannya. Selain tukin, mereka juga berhak menerima pendapatan lainnya seperti gaji pokok dan berbagai tunjangan melekat.
Di dalam Perpres itu diterangkan mengenai besaran tukin PNS Ditjen Pajak, mulkai dari peringkat jabatan 4 pelaksana hingga peringkat 27 pejabat struktural atau eselon I.
Struktur organisasi Kementerian Keuangan diatur dalam Perpres Nomor 28 Tahun 2015. Kepala Biro, Direktur, Kepala Pusat, Inspektur, Sekretaris Dirjen, Sekretaris Badan, Sekretaris Inspektur Jenderal adalah jabatan eselon IIA.
Kaki tangan Angin Prayitno di Ditjen Pajak bernama Dadan Ramdani merupakan Kepala Sub Direktorat termasuk pejabat struktural eselon IIIA. Besaran tukin untuk golongan ini Rp 46.478.000 setiap bulannya. Demikian juga kelompok mafianya Angin yang lain seperti Wawan Ridwan adalah Kepala Pelayanan Pajak Pratama Bantaeng, Sulawesi Selatan.