Untuk di tingkat menengah seperti penilai PBB muda saja sudah menerima tukin sebanyak Rp 21.567.900. Pemeriksa pajak muda Rp 25.162.550. Pemeriksa pajak penyelia Rp 22.235.150,
Pemeriksa pajak pelaksana Rp 13.320.562. Account representative tingkat III menerima Rp 13.986.750. Penilai PBB pelaksana mendapat Rp 12.432.525. Tukin cair setiap bulannya. Sekali lagi, ini belum termasuk tunjangan-tunjangan melekat lainnya.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2015, tukin bisa dibayarkan 100 persen pada tahun berikutnya selama satu tahun jika realisasi pajak mencapai 95 persen dari target penerimaan pajak.
Tukin dibayarkan 90 persen jika realisasi penerimaan pajak mencapai 90 hingga 95 persen. Jika realisasi pajak hanya mencapai 80 – 90 persen, maka tukin yang didapat hanya sebesar 80 persen.
Kemudian tukin dibayarkan 70 persen andai realisasi penerimaan pajak hanya mencapai 70 sampai 80 persen. Dan tukin juga hanya diterima 50 persen jika realisasi penerimaan pajaknya kurang dari 70 persen.
Melihat dari besaran-besaran angka tukin, gaji serta tunjangan-tunjangan melekat lainnya yang diterima pegawai pajak saban bulannya, tidak ada yang membantah jika kesejahteraan pegawai pajak tidak hidup di bawah garis kemiskinan.
Inspektorat Kementerian Keuangan mau tidak mau harus “bekerja” lagi agar potensi penyalahgunaan wewenang di jajaran bawahannya tidak terjadi lagi. Angin Prayitno bersama kaki tangannya bisa berbuat leluasa karena hilangnya fungsi pengawasan sebagaimana mestinya.
Lagipula, kasus dengan modus yang sama dengan Angin Prayitno bukan kali pertama terjadi. Selalu berulang dan nilai kerugian negara sangat fantastis.
Kasus-kasus yang terjadi di Ditjen Pajak seakan mematahkan pameo: dengan kesejahteraan dan gaji yang tinggi bisa menghilangkan praktek korupsi.
Toh ternyata, garong-garong pajak yang berasal dari kalangan “dalam” seperti Gayus Tambunan, Dhana Widyatmika, Bahasyim Assifie, Muhammad Dian Irwan Nuqisra, Eko Darmayanto, Tommy Hendratno, Pargono Riyadi, Herry Setiadji, Indarto Catur Nugroho, Slamet Riyana, Wawan Ridwan, Dadan Ramdani, dan Angin Prayitno.
Jika reformasi kepegawaian di jajaran Ditjen Pajak tidak mampu mengurangi “penggarong-penggarong” dari dalam, ada baiknya perlu dipikirkan untuk merevisi aturan tukin yang “gila-gilaan” di lingkungan Ditjen Pajak.
Tetapi saya yakin, masih banyak pula pegawai Ditjen Pajak yang berbuat jujur dan amanah. Mereka sangat mensyukuri kesejahteraan dan gaji yang diterima dengan tetap bekerja “lempeng”.
Mereka yang busuk adalah oknum-oknum yang tidak tahu diri. Seperti Angin Prayitno misalnya, usai lulus dari S1 Universitas Krisnadwipayana mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan tingkat master di Concordia University, Kanada, dan tingkat dokroral di Universitas Padjadjaran.
Perlu juga Biro Kepegawaian Ditjen Pajak menghadirkan Feti Iraningsih, ibu muda dari Pekalongan yang berhasil “jungkir balik” mengelola pendapatan bersama suaminya sebesar Rp 2,7 juta sebagai motivator di acara-acara kepegawaian Ditjen Pajak.
Selama ini, pembicara-pembicara bertarif mahal untuk acara-acara motivasi di Ditjen Pajak gagal memberi perubahan paradigma yang baru.
Mensyukuri penghasilan yang halal, bekerja dengan hasil yang terbaik serta meresapi makna 85 derajat dengan 2,7 derajat dalam kehidupan. Setiap orang memiliki rezekinya masing-masing dan yakinlah tidak akan ada yang tertukar. (*Ari Junaedi adalah akademisi, konsultan komunikasi & kolomnis)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.