Hal yang sama disampaikan oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK).
Kondisi ini terjadi karena belum adanya mekanisme pengaduan serta jaminan terkait respons dari kasus tersebut.
“Terdapat rasa khawatir korban tidak terjamin kerahasiaan, adanya stigma yang menyudutkan korban, tekanan dari pelaku yang memiliki otoritas di perguruan tinggi, serta khawatir tidak mendapatkan respons positif saat melaporkan kasus-kasus tersebut,” kata Koordinator Pelaksana Harian LBH APIK, Khotimun Sutanti, Senin (8/11/2021).
Baca juga: Nadiem: Ada Sanksi jika Kampus Tak Terapkan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual
Progresif
Terbitnya aturan ini pun mendapat respons positif dari berbagai kalangan.
Permendikbud ristek ini dinilai sangat progresif dalam hal pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang berperspektif korban. Salah satunya karena mengatur soal consent atau persetujuan.
“Bahkan sangat spesifik ada pasal yang menyebutkan bahwa definisi kekerasan seksual itu adalah ketiadaan consent atau ketiadaan persetujuan dari kedua belah pihak,” kata pegiat hak asasi manusia (HAM) Nisrina Nadhifah kepada Kompas.com, Rabu (10/11/2021).
Ketentuan mengenai consent diatur dalam Pasal 5 Permendikbud Ristek 30/2021. Jika korban tidak memberikan persetujuan, maka suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual.
Komnas Perempuan pun berharap Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) setidaknya bisa memuat penjelasan bentuk kekerasan seksual yang ada di Permendikbud Ristek 30/2021.
“Iya (sebaiknya dimasukan ke RUU TPKS). Minimal dalam penjelasan tindak pidana kekerasan seksual, seperti dalam penjelasan tindak pidana pelecehan seksual nonfisik,” kata Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi saat dihubungi Kompas.com, Jumat (12/11/2021).
Baca juga: Daftar Sanksi Pelaku Kekerasan Seksual Menurut Permendikbud PPKS
Meski mendapat banyak dukungan, Permendikbud Ristek 30/2021 juga menuai kritik, khususnya terkait adanya consent yang dianggap melegalkan perzinaan atau seks bebas.
Atas kritik tersebut, Nadiem menegaskan, permendikbud ini memiliki perhatian terhadap penanganan korban kekerasan seksual.
Ia juga siap mendengar masukan dan melakukan safari ke berbagai pihak yang mengkritik beleid tersebut.
“Tadi sudah dijelaskan bahwa fokusnya permen PPKS tersebut adalah untuk menyerang epidemi, pandemi daripada kekerasan seksual dan hanya itu,” ujarnya.
Untuk diketahui, ada 21 bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam permendikbud ini.