Turbulensi di Partai Golkar
Tidak pelak, penahanan Azis Syamsuddin menambah panjang nama elite Golkar yang terjerembab karena kasus rasuah. Sebelumnya, ada Idrus Marham yang ditahan pada hari Jumat juga saat masih menjadi Menteri Sosial.
Idrus terlibat kasus korupsi Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU-1) Riau bersama Wakil Ketua Komisi Energi DPR dari Golkar, Eni Saragih. Idrus didakwa menerima suap Rp 2,25 miliar dari pengusaha Johannes Budisustrisno Kotjo. Seusai menjalani vonis 3 tahun penjara, kini Idrus sudah bebas.
Tidak kalah fenomenal adalah kasus “Papa Minta Saham” dari Ketua Umum Golkar sekaligus Ketua DPR Setya Novanto. Terpidana kasus e-KTP itu sebelumnya sempat menggelar aneka drama seperti pura-pura sakit, tugas kenegaraan hingga mengajukan sidang praperadilan untuk menghambat pemeriksaan di KPK.
Setya Novanto dan tim kuasa hukumnya sudah merasa akan dilakukan penahanan sehingga mengumbar segala cara termasuk menabrakkan mobil ke tiang listrik. Setya Novanto akhirnya divonis 15 tahun penjara dan membayar pengganti kerugian negara sebesar Rp 66 miliar (Kompas.com, 30/04/2018).
Seperti halnya saat Setya Novanto dalam posisi “kritis” baik dari sisi hukum maupun pijakan kekuasaan ketika kasus e-KTP merebak, seusai penahanan Aziz Syamsuddin diperkirakan akan terjadi tarik-menarik di tubuh partai berlambang pohon beringin ini.
Di pusat, faksi-faksi yang berada di Partai Golkar tentu akan berusaha mengisi posisi jabatan kosong yang ditinggal Azis sebagai Wakil Ketua DPR. Kader-kader Golkar dari Kosgoro tentu menuntut posisi tersebut mengingat Azis juga pernah menjadi pimpinan pusat kolektif Kosgoro. Saat ini, Azis di Kosgoro duduk sebagai wakil ketua dewan kehormatan.
Tidak ketinggalan tentunya, kader-kader dari MKGR, Soksi, AMPI, GAKARI misalnya tentu akan memanfaatkan peluang politik ini.
Baru sehari saja pasca penjemputan paksa Azis, Badan Hukum & HAM (Bakumham) Golkar melalui Muslim Jaya Butarbutar sudah menyerukan Azis segara melepas jabatannya sebagai Wakil Ketua DPR (Detik.com, 25 September 2021).
Di daerah “kekuasaan” Azis di Lampung, tak ayal kasus suap yang melibatkan Azis Syamsuddin ikut menggoyang politik lokal di sana. Azis selama dikenal memiliki cengkeraman politik yang kuat dan menjadi akses masuk berbagai program nasional yang dikelola pusat. Posisinya di Badan Anggaran DPR sebelum menjadi wakil ketua DPR menjadikannya begitu “berkuasa” mengalokasikan sejumlah anggaran besar untuk daerah.
Daerah pemilihan Azis Syamsuddin adalah Lampung 2 meliputi Kabupaten Lampung Tengah, Lampung Timur, Lampung Utara, Mesuji, Tulang Bawang, Tulang Bawang Barat, dan Way Kanan.
Kasus yang menyeret Azis juga “menguak” peran Aliza Gunado Ladonny, Direktur Bisnis PT Lampung Jasa Utama, salah satu BUMD yang dimiliki Pemerintah Provinsi Lampung. Dalam surat dakwaan Robin Pattuju dan Maskur Husain, nama Aliza disebut sebagai pemberi suap bersama Azis (Kompas.com, 23/09/2021). Di Lampung, nama Aliza kondang sebagai “palang pintu” untuk para kepala daerah yang ingin berurusan dengan Azis Syamsuddin.
Per 11 Februari 2021 silam, Aliza yang juga aktivis Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) resmi mengajukan penguduran dirinya dari posisinya di BUMD Lampung. Hal ini tidak terlepas dari peran Aliza yang disebut-sebut selama persidangan Mantan Bupati Lampung Tengah Mustafa.
Setiap pengurusan untuk mendapatkan alokasi DAK, Aliza menjadi pihak yang aktif mewakili Azis. Lampung Tengah mendapat DAK atas peran Azis Syamsuddin melalui Aliza. Fee pengurusan DAK 2017 adalah Rp 2,5 miliar (Suluh.co, 15 Februari 2021).