JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan anggota regu jaga Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Tangerang tahun 1982-1985, Agun Gunandjar Sudarsa, mengatakan, ada hal krusial yang perlu dijelaskan pemerintah kepada publik soal pelaksanaan prosedur standar operasi oleh pegawai Lapas Kelas I Tangerang saat peristiwa kebakaran terjadi pada Rabu (8/9/2021) dini hari.
Menurut Agun, peristiwa kebakaran yang terjadi itu mestinya tidak akan menelan korban jiwa jika prosedur standar operasi dijalankan.
Ia berpendapat, kebakaran yang menewaskan lebih dari 40 orang di Lapas Kelas I Tangerang itu tak berkaitan dengan kondisi kondisi lapas yang jumlah penghuninya melebihi kapasitas (overcapacity).
”Jadi, enggak ada hubungannya dengan overcapacity. Hal itu memang merupakan persoalan nasional yang harus diselesaikan. Apakah overcapacity dapat berimplikasi terjadinya kerusuhan, itu iya. Tetapi, apakah overcapacity pasti menyebabkan kebakaran, tentu tidak," kata Agun dikutip dari Kompas.id, Jumat (10/9/2021).
Baca juga: Anggota Komisi III: Implementasi Penanganan Lapas Omong Kosong, Menkumham Hanya Retorika
"Justru, menurut saya, itu (korban jiwa) karena SOP (prosedur standar operasi) yang tidak dijalankan secara benar. Ini yang seharusnya dijelaskan oleh pemerintah," tambahnya.
Menurutnya, Lapas Kelas I Tangerang yang dibangun tahun 1972 masih termasuk berusia muda. Sebab, masih banyak lapas lain yang lebih tua.
Di dalam Lapas Kelas I Tangerang, model bangunan per blok berupa paviliun yang diisi beberapa kamar. Untuk sistem keamanan, setiap kamar akan dikunci oleh petugas. Kemudian terdapat kunci lagi untuk pintu ke setiap blok.
Agun mengungkapkan, soal keberadaan kunci bergantung pada kebijakan masing-masing lapas. Standarnya, kunci berada di bagian keamanan lapas.
Baca juga: Ketika Blok yang Terbakar di Lapas Tangerang Hanya Dijaga 1 Petugas
Untuk kondisi lapas yang lokasi bloknya berjauhan, biasanya dibuat lokasi kunci cadangan yang lebih dekat. Penggunaan kunci oleh petugas juga tidak sembarangan karena terdapat prosedur standar operasi.
Jika terjadi kebakaran, lanjut Agun, biasanya petugas akan melaporkan secara berjenjang ke pegawai di atasnya sembari memeriksa sumber kebakaran.
Dalam situasi tersebut, beberapa petugas pemasyarakatan juga akan berkumpul di lokasi kebakaran untuk memadamkan.
Jika api membesar, pintu blok dan pintu kamar akan dibuka untuk memindahkan warga binaan ke ruang lain, seperti aula. Sementara petugas lain menghubungi kepolisian untuk meminta penjagaan di luar lapas, termasuk pemadam kebakaran jika memang api membesar.
"Tapi, itu semua kalau memang prosedurnya dijalankan, juga ketentuan dan ketertiban rumah tangga dijalankan. Tapi berarti kalau sampai terjadi kejadian seperti kemarin, berarti itu semua tidak jalan. Mestinya pemerintah berikan penjelasan," ujarnya.
Agun mengatakan, kebakaran pasti berawal dari api yang kecil. Jika petugas menjalankan tugasnya dengan melakukan kontrol secara berkala, kebakaran bisa sedari awal dicegah.
Sebab, menurut Agun, dalam prosedur standar, petugas harus melakukan kontrol atau berkeliling secara berkala. Bahkan, ketika malam pun, pengawasan dengan berkeliling harus dilakukan.
Ia pun menegaskan detail peristiwa tersebut harus dijelaskan kepada publik sebagai bentuk pertanggungjawaban pemerintah.
Sebab, keselamatan warga binaan merupakan tanggung jawab pemerintah. Peristiwa tersebut juga telah menjadi sorotan dunia karena menyangkut isu hak asasi manusia.
"Kenapa kebakaran meluas? Kalau SOP dijalankan, seharusnya itu bisa dijelaskan pemerintah. Jangan-jangan di situ tidak ada petugas. Bisa juga saya berpikir, siapa warga binaan di blok itu? Jangan-jangan jaringan narkoba?" tutur Agun.
Secara terpisah, peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Raynov Tumorang, mengatakan, tanpa ada peristiwa kebakaran, kondisi lapas yang jumlah penghuninya melebihi kapasitas harus segera diselesaikan.
Menurutnya, pemerintah, DPR, dan berbagai kalangan telah mengetahui hal itu, tetapi belum ada langkah konkret untuk menyelesaikannya.
Kondisi itu menimbulkan beberapa masalah, yakni persoalan kesejahteraan. Aspek kesejahteraan menyangkut kebutuhan dasar, makanan sehari-hari bagi warga binaan, dan pelayanan kesehatan.
Masalah lain yang timbul adalah pengawasan lapas menjadi minim. Peredaran narkoba di dalam lapas terjadi karena rasio antara petugas dan warga binaan timpang.
Hal itu berimplikasi pada minimnya perhatian pengelola lapas terhadap kondisi infrastruktur lapas.
"Dalam kondisi normal atau tidak overcrowded, pengawasan kepada warga binaan pemasyarakatan akan lebih maksimal. Selain itu, energi dan fokus pengelola lapas pun tidak akan habis hanya untuk pengawasan, tetapi juga hal-hal lain, termasuk infrastruktur lapas," kata Raynov.
Untuk mengatasi masalah tersebut, menurut Raynov, yang harus diselesaikan adalah memperkecil atau menghambat arus masuk orang ke lapas.
Karena sebagian besar penghuni lapas terkait tindak pidana narkotika, hal itu bisa dilakukan dengan tidak menghukum pengguna narkoba dengan pidana penjara, tetapi juga rehabilitasi.
"Soal ini DPR sudah tahu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia juga tahu. Jadi, kalau itu tidak diatasi atau dihambat arus masuknya, ya, kita akan terus berkutat dengan masalah yang sama di masa-masa mendatang," ucapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.