KEBAKARAN Lapas Kelas 1 Tangerang pada 8 September dini hari sangat mengejutkan. Tidak hanya karena jumlah korban mencapai 41 orang narapidana, namun juga karena kebakaran selama ini lebih banyak berkaitan dengan masalah lain, seperti kerusuhan atau perkelahian.
Dugaan dari kepolisian sementara ini, penyebabnya adalah masalah dalam instalasi listrik. Apakah ada kelalaian di dalam pengelolaan lapas sehingga bencana seperti ini terjadi?
Salah satu persoalan yang dihadapi oleh Lapas dan Rutan di Indonesia adalah usia. Lapas Cipinang Jakarta misalnya, didirikan tahun 1912, setahun berikutnya berdiri Lapas Pekalongan di Jawa Tengah.
Lapas Wirogunan di Yogyakarta berdiri lebih awal lagi, di tahun 1910. Di Pulau Nusakambangan, Lapas Permisan adalah yang tertua, dibangun tahun 1908.
Diikuti kemudian oleh Lapas Batu, berdiri tahun 1925, Lapas Besi, berdiri 1929, dan Lapas Kembang Kuning tahun 1950. Lapas termuda di pulau ini adalah Lapas Karang Anyar yang diresmikan tahun 2019 lalu.
Lapas Tangerang sendiri berdiri tahun 1972.
Baca juga: Yasonna Sebut Lapas Kelas I Tangerang Dibangun 1972, Harus Diperbaiki Instalasi Listriknya
Usia lapas sangat berkaitan dengan kemampuannya sendiri di dalam melaksanakan fungsi Pemasyarakatan, baik dalam pembinaan maupun pengamanan.
Inilah yang menyebabkan terjadinya beberapa modifikasi pada bangunan, seperti penambahan atau perbaikan. Dinding yang rapuh tentu bermasalah dari sisi keamanan.
Khusus untuk lapas-lapas yang didirikan oleh Belanda, desain yang lebih bertujuan inkapasitatif dan retributif sangat tidak bersahabat dengan program pembinaan.
Namun di sisi lain, usia lapas tidak hanya mempengaruhi aspek keamanan, namun juga keselamatan penghuni dan petugas. Usia lapas akan mempengaruhi kualitas bangunan, fasilitas, hingga instalasi/jaringan tertentu seperti pembuangan limbah (sanitasi), saluran air, hingga instalasi listrik.
Baca juga: Kebakaran di Lapas Tangerang, Kemenkumham Fokus Penanganan Korban
Untuk mencegah agar kondisi banguan serta jaringan pendukungnya tidak membahayakan keselamatan, setiap negara di dunia menetapkan standar-standar ideal.
National Bureau of Standards, US Department of Commerce, di tahun 1987, misalnya, mengeluarkan Standar Bagi Material Bangunan, Peralatan dan Sistem yang digunakan di Rumah Tahanan dan Penjara.
Di dalam dokumen ini disebutkan, berdasarkan berbagai studi terhadap kebakaran di fasilitas penjara antara 1967-1977 diketahui bahwa awal mula kebakaran umumnya berasal dari sel, berasal dari dari korek api atau rokok yang membakar matras tempat tidur, alas tempat tidur, atau pakaian.
Selain itu, disebutkan juga bahwa, berdasarkan National Fire Codes yang dipublikasikan oleh National Fire Protection Association, salah satu standar yang harus diperhatikan di dalam pencegahan kebakaran adalah electric code, yang mencakup standar di dalam memilih dan memasang kabel listrik, hingga life safety code yang mencakup kebutuhan minimum untuk kapasitas jalan keluar darurat (emergency exit capacity).
Pada 2011, National Institute of Corrections, US Department of Justice, mengeluarkan "Jail Design Guide". Di dalamnya dijelaskan bahwa keselamatan dari kebakaran adalah pertimbangan kritikal di dalam desain bangunan hunian penjara.
Umumnya kematian dan luka akibat terbakar maupun menghirup asap berasal dari area ini. Standar yang diharuskan untuk pencegahan dampak fatal saat kebakaran adalah, menyediakan alat dan cara yang tepat untuk jalan keluar, alat deteksi, alarm, dan sistem pemadaman.
Baca juga: Anggota Komisi III Minta Menkumham Tanggung Jawab atas Kebakaran Lapas Tangerang
Selain itu, salah satu yang disarankan di dalam standar ini adalah menciptakan sistem yang mampu melakukan buka kunci darurat yang serentak (emergency group unlocking capabilities) di blok hunian melalui kendali utama (master control).
Kementerian Hukum dan HAM sebenarnya telah memiliki peraturan terkait Pola Bangunan, yaitu Peraturan Menteri Nomor M.01.PL.01.01.Tahun 2003.
Di dalamnya diatur tentang instalasi pemadam kebakaran, seperti disediakannya tanda bahaya, alat pemadam api, dan fire escape plan (petunjuk arah evakuasi). Diharuskan pula setiap blok memiliki sistem pemadam kebakaran.
Untuk penanganan kebakaran, diatur pula mekanismenya di dalam Peraturan Menteri Nomor 33 Tahun 2015 tentang Pengamanan pada Lapas dan Rutan.
Ketentuan itu di antaranya memberikan isyarat tanda bahaya, memadamkan aliran listrik dan menghidupkan penerangan darurat, melalukan pemadaman api, serta mengeluarkan dan mengamankan narapidana dan tahanan ke tempat yang aman di dalam lapas.
Baca juga: Menkumham Yasonna Sebut Lapas Kelas I Tangerang Overcapacity hingga 400 Persen
Pada 2019, Direktur Jenderal Pemasyarakatan mengeluarkan keputusan nomor PAS-57.OT.02.02, tentang Pedoman Penanggulangan Bencana di Unit Teknik Pemasyarakatan (Lapas/Rutan).
Dalam hal kebakaran, diatur upaya pencegahan dengan memastikan semua instalasi listrik berada dalam kondisi aman.
Pada saat terjadi, selain dilakukan upaya pemadaman dan berkoordinasi dengan dinas pemadam kebakaran, juga diatur tentang upaya penyelamatan diri staf dan warga binaan.
Kebakaran di Lapas Tangerang menyisakan pertanyaan, mengapa ketika ketentuan mengenai standar penanganan bencana kebakaran telah diatur, justru berdampak sangat fatal? Jawaban atas pertanyaan ini dapat dibedakan ke dalam tiga level.
Pertama, tidak bisa dipungkiri, Lapas dan Rutan di Indonesia masih berhadapan dengan masalah struktural overcrowding.
Mengapa disebut struktural? Hal ini karena penyebab dari overcrowding justru terletak pada cara kerja sistem peradilan pidana umumnya. Lapas tidak bisa menolak terpidana baru. Inflow narapidana sama sekali berada di luar kendali lapas.
Baca juga: ICJR Desak Pemerintah Beri Perhatian Lebih terhadap Persoalan Overcrowding Lapas
Dampak dari overcrowding adalah terseoknya lapas di dalam mencapai standar-standar minimum di dalam pembinaan, pelayanan, pengamanan, hingga keselamatan.
Dalam konteks pencegahan dampak fatal dari kebakaran, kepadatan jumlah penghuni akan menentukan kecepatan evakuasi, kecukupan kapasitas ruang/lokasi tertentu di dalam lapas yang dianggap aman, serta tentunya mengurangi jumlah individu yang berisiko terdampak bencana.
Kedua, masalah kapasitas fasilitatif bagi unit teknis pemasyarakatan. Masalah ini berkaitan dengan sejauh mana kementerian (melalui sekretariat jenderal dan kantor wilayah) mengalokasikan anggaran dan sumber daya secara proporsional untuk lapas dan rutan.
Setiap bangunan lapas tentu memerlukan pemeliharaan dan peremajaan dalam periode tertentu.
Sehingga penting untuk ditanyakan, kapan pemeliharaan terakhir terhadap instalasi listrik di Lapas Tangerang dilakukan?
Baca juga: Ini Kronologi Kebakaran di Lapas Kelas I Tangerang Menurut Menkumham
Soal anggaran dan sumber daya ini sering disebut klasik, namun dalam hal ini justru menentukan aspek keamanan dan keselamatan.
Ketiga, prosedur teknis dan implementasinya. Pasca-kebakaran ini, diperlukan review kembali terhadap prosedur atau standar yang ada terkait penanganan bencana.
Apakah evakuasi yang hanya diarahkan ke titik tertentu di dalam lingkungan lapas dapat dinilai cukup?
Bukankah umumnya Lapas dan Rutan mengalami overcrowding sehingga ketentuan evakuasi seperti ini tidak akan mengurangi risiko fatal?
Sebagaimana yang disinggung sebelumnya tentang standar di Amerika Serikat, kapasitas evakuasi harus benar-benar dihitung secara proporsional, dengan risiko terendah.
Selain itu, ke depan juga dapat difikirkan sistem pemadaman yang otomatis, termasuk sistem evakuasi yang juga otomatis, melalui sistem buka kunci tersentral, dan terbukanya jalur ke area tertentu di dalam atau di luar Lapas bila situasi benar-benar darurat.
Dalam konteks pencegahan, petugas juga perlu mendapatkan pelatihan dan simulasi yang berkala, khususnya dalam penanggulangan kebakaran ini.
Ini termasuk simulasi apabila dalam keadaan tertentu evakuasi harus diarahkan ke ring terluar Lapas, terlepas dari penilaian bahaya keamanan.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.