JAKARTA, KOMPAS.com - Penghapusan mural bergambar wajah mirip Presiden Joko Widodo dengan tulisan "404: Not Found" di Batuceper, Kota Tangerang, Banten dihujani kritik.
Tak hanya menghapus mural, aparat kepolisian pun kini tengah memburu pembuat mural tersebut. Namun, sikap yang ditujukan oleh aparat itu justru tidak sejalan dengan pernyataan Presiden Jokowi dan pemerintah selama ini.
"Di satu sisi, Jokowi bilang tidak antikritik, tapi di sisi lain dia perintahkan atau membiarkan aparat keamanan menghapus mural itu," kata politisi Partai Demokrat, Benny K Harman saat dihubungi Kompas.com, Rabu (18/8/2021).
Anggota Komisi III DPR itu menilai, penghapusan mural tersebut merupakan bentuk pemberangusan kritik terhadap pemerintah.
Benny pun berpandangan bahwa aparatur pemerintah justru tidak menjalankan instruksi Presiden pada Sidang Tahunan MPR, Senin (16/8/2021) lalu, yang menyatakan bahwa kritik sangat penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Ini bukti, pidato Presiden Jokowi di sidang Tahunan bahwa pemerintah tidak antikritik, tidak dilaksanakan oleh aparatur negara di bawahnya," ucap Benny.
Baca juga: Jokowi Diminta Perintahkan Aparat Tak Kejar Pembuat Mural yang Kritik Pemerintah
Senada, Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera menilai, pemerintah seharusnya dapat proporsional dalam menyikapi sebuah kritik di era keterbukaan seperti saat ini.
Penghapusan atas mural itu, menurut dia, justru memperlihatkan pemerintah panik.
"Pak Jokowi, (seharusnya) cool saja menghadapi kritikan," saran politisi PKS itu.
Mural adalah kritik sosial
Sementara itu, pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menilai, aparat kepolisian seharusnya melihat mural sebagai sebuah karya seni dan kritik sosial, alih-alih menghapusnya.
Dalam kehidupan berdemokrasi, ia menegaskan, kritik sosial bukanlah suatu bentuk penghinaan. Sebab, kritik sosial akan selalu ada selama masyarakat masih merasa hidup kesulitan, kesusahan dan kekurangan.
"Kritik sosial yang ditumbuhkan oleh masyarakat melalui mural-mural itu bukan berarti penghinaan. Bukan berarti itu juga menyalahkan presiden, tidak, dan belum tentu," kata Ujang saat dihubungi Kompas.com.
Adapun pengamat komunikasi politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno menuturkan, keberadaan mural sulit dianggap sebagai sebuah bentuk pelanggaran substansi moral. Pasalnya, obya yang digambar dalam mural tersebut tidak jelas.
"Kalau memang menggambarkan wajah Presiden salah, kan obyeknya tidak jelas," kata dia.
Baca juga: Mural Wabah Sesungguhnya adalah Kelaparan Dihapus Aparat, Camat: Melanggar Perda
"Di situ tidak ada nama, hanya kesamaan gambar, kemiripan, yang punya wajah sama dengan Kepala Negara itu banyak. Artinya obyek itu terlampau kabur jika menunjuk tokoh penting di negara ini," sambungnya.
Adi menegaskan, aparat penegak hukum juga tak bisa menyalahkan pembuat mural karena dianggap melecehkan lambang negara. Pasalnya, Presiden bukanlah lambang negara.
"Apalagi kalau keluar statement melanggar karena melecehkan lambang negara. Lambang negara itu Pancasila, bukan Presiden," tutur Adi.
Jangan paranoid
Adi pun berharap agar aparat polisi tidak menempatkan pembuat mural seolah-olah sebagai pelaku kejahatan luar biasa dengan memburu mereka.
Sebab, menurut dia, para pembuat mural itu selama ini tidak pernah merugikan negara. Aparat semestinya dapat menjelaskan kepada publik di mana letak kesalahan mereka.
"Ini seolah-olah pelakunya membuat extraordinary crime, apalagi disebut diancam KUHP karena melecehkan lambang negara, padahal lambang negara bukan Presiden tapi Pancasila kalau mengacu pada UUD 1945. Jadi jangan menambah kegaduhan. Kasihan indeks demokrasi kita akan babak belur," kata Adi.
Sementara itu, Benny meminta, agar Presiden menginstruksikan kepada jajaran aparat kepolisian untuk berhenti memburu pelaku pembuat mural.
Baca juga: Tanggapi Mural, Politisi PKS: Pak Jokowi, Cool Saja Hadapi Kritikan
Adapun Ujang berharap agar aparat kepolisian tidak menafsirkan kritik sosial yang disampaikan melalui mural secara sepihak. Sebab, diperlukan pendekatan yang proporsional untuk menjawab kritik sosial itu.
Ujang pun menilai bahwa langkah penghapusan terhadap mural justru menunjukkan saat ini aparat terlalu paranoid terhadap kritik.
"Kita ini, penegak hukum kita terlalu paranoid, terlalu berlebihan. Itu kan mural itu kan belum tentu mengkritik Jokowi juga, itu kan mirip, lalu juga itu kan karya seni," imbuh dia.
Tanggapan Istana
Melalui Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, Istana pun menjawab soal mural kritik yang dihapus oleh aparat kepolisian.
Menurut Moeldoko, masyarakat diminta tak menyampaikan kritik secara sembarangan kepada Presiden Jokowi.
Bagaimanapun, kata dia, presiden merupakan orangtua bagi rakyat yang wajib dihormati.
"Karena apa pun presiden adalah orangtua kita, yang perlu, sekali lagi perlu, dan sangat perlu untuk kita hormati," kata Moeldoko di kantor staf presiden, Jakarta, Rabu.
"Jangan sembarangan berbicara, jangan sembarangan menyatakan sesuatu dalam bentuk kalimat atau dalam bentuk gambar," ucap dia.
Baca juga: Soal Penghapusan Mural Mirip Jokowi, Istana: Presiden Orangtua Kita, Perlu Dihormati
Kendati demikian, Moeldoko mengatakan bahwa presiden tak ambil pusing kritik yang disampaikan. Justru menurutnya, presiden sangat terbuka terhadap kritikan.
Akan tetapi, tambah dia, Jokowi juga menyatakan bahwa kritik harus sesuai dengan adat budaya ketimuran.
Sebab itu, Moeldoko mengatakan bahwa kritik harus beradab, sesuai dengan tata krama dan kultur yang dianut bangsa.
"Bukan hanya selalu berbicara antikritik, antikritik. Cobalah lihat cara-cara mengkritiknya itu," ucap dia.
Lebih lanjut, ia berharap tidak ada lagi yang bertindak tanpa berpikir konsekuensinya dan setelah itu hanya meminta maaf.
Moeldoko berpandangan, seandainya polisi memanggil pelaku pembuat mural, itu bukan berarti tindakan represif negara.
Pasalnya, ia menilai bahwa pemanggilan tersebut bermakna pembinaan agar pelaku tidak lagi melakukan hal-hal yang tidak baik.
Baca juga: Mural Mirip Jokowi Dihapus, Moeldoko Sebut Mengkritik Harus Beradab
"Jadi jangan terus dijustifikasi represiflah dan seterusnya. Ini kadang-kadang kita melihat hanya kulitnya, tidak memahami dalamnya," imbuh Moeldoko.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.