JAKARTA, KOMPAS.com - Wali Kota Bogor Bima Arya mengeluhkan soal Undang-Undang Cipta Kerja yang dianggap malah memperumit proses perizinan yang telah dibangun pemerintah daerah, khususnya di Kota Bogor.
Hal tersebut disampaikan Bima di acara Ngobrol Virtual Bareng Ombudsman RI tentang UU Cipta Kerja , Kamis (5/8/2021).
Menurut Bima, UU Cipta Kerja mengharuskan pemerintah daerah melakukan banyak penyesuaian, bahkan mengubah secara dasar dan kompleks terhadap sistem perizinan yang sudah tercipta di daerahnya.
"Jadi semacam ada tsunami regulasi baru. Kami sudah maju, terukur, tadinya betul-betul satu pintu, jadinya berbelok-belok lagi. Intinya prosesnya menjadi lebih rumit," kata Bima.
Baca juga: Ombudsman Nilai Kebijakan Investasi dalam UU Cipta Kerja Belum Bisa Diimplementasikan
Hal itu pun membuat pihaknya harus beradaptasi lagi dengan sistem baru yang akan diterapkan, mengikuti aturan UU Cipta Kerja atau turunannya.
Padahal, ujar dia, sejak 2015 Kota Bogor sudah melakukan reformasi di bidang perizinan dengan membentuk Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) serta Mal Pelayanan Publik sesuai rancangan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB).
Bima mengatakan, DPMPTSP di Kota Bogor dibentuk sebagai lembaga perizinan yang melayani dalam satu pintu, waktunya terukur, dan transparan.
Pemberkasannya pun bisa dilakukan secara online. Ada 92 jenis perizinan yang dilayani, menggunakan tanda tangan elektronik dan terintegrasi dengan berbagai sistem lainnya.
Ini mulai dari NPWP, BPJS Kesehatan dan Tenaga Kerja, hingga pajak.
Baca juga: Sidang MK, Saksi Ahli Nilai Pembentukan UU Cipta Kerja Tak Partisipatif dan Tak Transparan
Begitu pun dengan Mal Pelayanan Publik di Kota Bogor yang dijadikan referensi nasional karena menggabungkan belasan unit instansi untuk melayani kebutuhan perizinan masyarakat.
"Tapi kami perlu adaptasi lagi dengan sistem baru. Terus terang, suka atau tidak, (UU Cipta Kerja) mempengaruhi sistem yang sudah terintegrasi dengan sistem pajak dan retribusi daerah," kata Bima.
Karena sistemnya sudah terintegrasi dengan banyak hal, kata dia, maka sistem perizinan baru sesuai UU tersebut yakni online single submission (OSS) membuatnya harus memulai lagi dari awal.
Baca juga: MK Tak Pertimbangkan Permohonan Uji Materi UU Cipta Kerja yang Diajukan KSBSI
Sistem OSS sendiri merupakan sistem yang menggabungkan seluruh aturan pemerintah pusat, daerah, dan pelaku usaha dengan berbasis risiko.
Hal tersebut sesuai dengan turunan UU Cipta Kerja, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan PP Nomor 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah.
"Sistem kami sudah terintegrasi dengan banyak hal, sedangkan di OSS ini kami harus memulai lagi, menata lagi. Belum lagi ada reformasi Dinas PTSP, struktur itu hrs menyesuaikan juga dengan OSS," kata dia.
Baca juga: MK Minta DPR Jelaskan Bagaimana Persiapkan DIM UU Cipta Kerja dalam Waktu Singkat
Bima juga menyoroti sistem OSS yang membuat target investasi dan pendapatan daerah tidak terlalu pasti baik dari segi data maupun pendapatannya.
Menurut dia, hal tersebut karena terdapat kewenangan yang berbeda.
"Dulu bisa diperkirakan dengan lebih presisi, tapi karena sekarang ada pembagian kewenangan berbeda antara pusat dan daerah, apalagi ada instruksi pemerintah pusat bersifat top down, maka kemampuan melakukan presisi dalam rangka pendapatan daerah jadi berkurang," kata dia.
Akibatnya, clearing house perbaikan sistem pun disebutkannya menjadi terkendala karena semuanya terpusat.
"Kami memahami bagaimana Menteri Investasi berusaha kejar setoran untuk menurunkan semua aturan yang ditambahkan dan melakukan koordinasi dengan Kementerian Tata Ruang, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri untuk memastikan semua berjalan baik," kata Bima.
Baca juga: Uji Formil UU Cipta Kerja, DPR Sebut Perubahan Naskah Setelah Disetujui Sebatas Redaksional
Meski demikian, Bima Arya mengakui bahwa kebijakan omnibus law UU Cipta Kerja tersebut didasari keinginan kuat untuk meningkatkan investasi.
Namun sayangnya, kata dia, targetnya tidak lagi mengejar kecepatan investasi tetapi juga pemulihan dan pertumbuhan ekonomi di tengah pandemi.
"Ini konteksnya beda, tidak ada yang perkirakan ketika omnibus law dirancang kita akan diterjang pandemi Covid-19. Jadi ini saya kira kerangka berpikir yang harus dipahami sehingga segala sesuatunya jadi sangat tidak ideal. Tidak ada yang salah, tapi harus ada banyak penyesuaian," ujar dia.
Meskipun UU Cipta Kerja ditargetkan untuk menyeragamkan kualitas perizinan dan pelayanan publik dengan menarik pemerintah daerah ke frekuensi yang sama, kata Bima, tetapi dalam perjalanannya tidak mudah.
Salah satu faktornya adalah desain legalitas, disparitas kondisi ekonomi dan sosial setiap daerah yang berbeda, hingga aspek pandemi Covid-19.
"Bagi beberapa kota yang sudah maju dalam hal reformasi birokrasi dan sistem perizinan, UU Cipta Kerja justru menimbulkan komplikasi tersendiri. Tidak hanya dalam konsep tapi juga koordinasi dan efektivitas kemudahan perizinan," ujar Bima.
Sementara bagi daerah-daerah yang belum memenuhi itu, kata dia, masih terkendala banyak persoalan, mulai dari sumber daya, tata ruang, teknologi informasi, dan sebagainya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.