Harta tersebut berupa emas batangan sisa peninggalan Kerajaan Pajajaran yang tersimpan di bawah Prasasti Batutulis, Bogor.
Heboh luar biasa. Rasa kagum mencuat seketika. Harapan dan optimisme pun kian berkecambah. Sebentar lagi Indonesia bebas dari utang.
Menko Kesra ketika itu, Jusuf Kalla, meminta Said Agil datang menemuinya. Kementerian Agama memang di bawah koordinasi Kementerian Kesra.
Tahu tidak, berapa utang luar negeri Indonesia, begitu pertanyaan Jusuf Kalla ke Menteri Agama. Menteri Agama tak bisa menjawab.
Jusuf Kalla lalu memberi hitungan dengan enteng. Jumlah utang luar negeri kita saat itu, awal tahun 2000, lebih kurang Rp 1.500 triliun.
Harga emas setiap gram kala itu adalah Rp 250.000 per gram. Maka, untuk melunasi utang pemerintah, kita butuh sekitar 6.000 ton emas batangan.
Bila emas batangan tersebut kita angkut dengan truk yang berkapasitas 4 ton, dengan asumsi panjang truk adalah 5 meter, kita butuh jejeran truk sepanjang 5 km.
Itu artinya, truk-truk tersebut berbaris mulai dari Kebayoran Baru hingga Bundaran Hotel Indonesia.
"Kira-kira ada tidak emas batangan sebanyak itu di Batutulis?" tanya Jusuf Kalla. Menteri Agama terdiam lesu.
Sekali lagi, akal sehat pejabat dipreteli. Logika berpikir para pejabat dianiaya.
Sayangnya, semua itu berdampak kepada masyarakat. Setidaknya, masyarakat memercayai kebohongan yang sistematis seperti itu.
Tahun 2007, sidang kabinet dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Tiba-tiba saja, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro melapor dengan semangat berapi-api.
“Bapak Presiden, sebentar lagi Indonesia akan memiliki tiga kilang minyak baru. Dua di antaranya di kampung Pak Wapres JK, yakni di Pulau Selayar dan Parepare," ujarnya.
Tak membutuhkan waktu terlampau lama, Wapres Jusuf Kalla langsung angkat bicara.
Sebaiknya para menteri, bila memberi laporan ke sidang kabinet, memeriksa betul akurasi data yang hendak disajikan.
Mohon menggunakan logika yang benar. Ada dua persyaratan untuk membangun kilang minyak.
Pertama, harus dekat dengan sumber daya minyak. Kedua, dekat dengan pasar penjualan.
Kedua hal itu tidak ditemukan di Parepare dan Selayar. Parepare itu kampung Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaludin, hanya tempat bertransaksi ikan terbang, kata Jusuf Kalla dengan kesal.
Dengan nada kecewa, Jusuf Kalla menguraikan lebih lanjut. Tidak mungkin pengusaha dari Kuwait yang Menteri ESDM sebutkan itu sebagai investor akan membangun kilang minyak di tiga tempat di Indonesia.