HEBOH dan meriah. Riuh dengan tepuk tangan para pejabat negeri. Ahli waris Akidi Tio, seorang pengusaha di Sumatera Selatan, menyumbang Rp 2 triliun.
Banyak yang kagum dan memuja ketulusan itu, sebab di tengah lilitan utang negara dan derita akibat Covid-19, ada warga negara yang memberikan hartanya untuk kemaslahatan orang banyak.
Saya tidak bertepuk tangan. Saya tidak memberi rasa kagum, apalagi pujian. Saya malah kian sangsi mengenai akal waras kita semua.
Saya kian teguh bahwa para pejabat di negeri ini sama sekali belum belajar dari berbagai kejadian masa lalu.
Sejumlah orang telah melecehkan akal sehat dan memarjinalkan tingkat penalaran para pejabat negeri ini.
Hingga uang Rp 2 triliun tersebut benar-benar sudah di tangan, saya tetap menganggap bahwa di negeri ini masih banyak orang yang ingin memopulerkan diri dengan cara melecehkan akal waras para pejabat.
Belum terlampau lama ke belakang, seorang yang mendeklarasikan diri sebagai filantropis dunia telah mendeklarasikan ke publik bahwa ia menyumbang dengan angka-angka yang fantastis di Palu, Sulawesi Tengah, yang baru saja diluluhlantakkan oleh bencana alam, likuifaksi.
Orang yang sama juga telah memaklumatkan bahwa ia akan menyumbang rumah yang telah diterjang badai gempa bumi di Nusa Tenggara Barat.
Sang tokoh, sebelum kejadian di dua provinsi kita itu, juga membiarkan dirinya diliput pers bahwa ia membangun secara sukarela asrama prajurit pasukan elite kita.
Hingga kini, sekian tahun kemudian, semua deklarasi itu adalah hampa belaka.
Yang lebih hebat lagi, sang pemberi janji diganjar dengan penghargaan Bintang Mahaputra. Hebat kan?
Akibat janji-janji yang tak ditepatinya itu, Wakil Presiden ke-10 dan 12, Jusuf Kalla, berteriak kencang, “Cabut gelar kehormatan itu.”
Sejarah terulang lagi
Bung Karno pada era '50-an pernah menerima sepasang suami istri di Istana Negara. Mereka adalah Raja Idris dan Ratu Markonah.
Mereka mengeklaim diri sebagai raja dan ratu dari suku Anak Dalam di Jambi. Mereka mendeklarasikan diri bisa membantu pembebasan Irian Barat.
Semua mengagumi kedua orang tersebut. Tepuk tangan dan senyum semringah para pejabat di negeri ini terhambur lepas. Berbunga-bunga. Hebat.
Kedok penipuan pun tersingkap beberapa hari kemudian. Raja Idris ternyata adalah pengayuh becak, sementara Ratu Markonah adalah pelacur kelas bawah di Tegal, Jawa Tengah.
Para pejabat terkibuli secara sistematis, yang sekaligus berarti, dua orang telah melecehkan daya nalar pejabat kita ketika itu.
Kita pernah juga dikagetkan oleh Menteri Agama Said Agil Husin Al-Munawar.
Ia mengeklaim bahwa ada harta karun besar yang bisa dipakai untuk melunasi seluruh utang negara.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.