JAKARTA, KOMPAS.com - Kerusuhan 27 Juli 1996 atau dikenal dengan Kudatuli tercatat sebagai salah satu peristiwa kelam demokrasi di Indonesia.
Kekisruhan itu bermula dari dualisme kepemimpinan di Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Konflik terjadi antara Soerjadi dan Megawati Soekarnoputri.
Dikutip dari Kompaspedia.kompas.id, 26 Juli 2021, perpecahan berawal saat Kongres IV PDI, 21-25 Juli 1993 di Medan. Soerjadi kembali maju sebagai calon ketua umum periode 1993-1998.
Kendati demikian, ada sejumlah pihak yang menilai bahwa Soerjadi tak layak menjadi ketua umum karena tuduhan penculikan yang tengah disidangkan.
Kongres itu tetap berjalan dengan dibuka oleh Presiden Soeharto. Dalam prosesnya, terjadi banyak antarkader pendukung Soerjadi dan penolaknya.
Baca juga: 25 Tahun Kudatuli: Peristiwa Mencekam di Kantor PDI
Pada kongres hari kedua, meski kericuhan kembali terjadi, Soerjadi terpilih sebagai Ketua Umum PDI secara aklamasi.
Pemerintah tidak lantas menerima keputusan terpilihnya Soerjadi dalam Kongres IV PDI. Atas hal tersebut, pemerintah meminta PDI membentuk caretaker, yakni lembaga perantara selama masa partai tersebut vakum.
Kemudian caretaker itu merencanakan Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Surabaya pada 2-6 Desember 1993.
Jelang KLB, muncul nama-nama calon ketum baru, salah satunya Megawati yang akhirnya terpilih sebagai Ketum PDI periode 1993-1998.
Pemerintah saat itu menerima keputusan KLB yang memilih Megawati sebagai Ketum PDI.
Menteri Dalam Negeri saat itu, Yogie S Memed, memberikan syarat bahwa penetapan Megawati sebagai ketua umum dilakukan melalui Musyawarah Nasional (Munas) pada 22-23 Desember 1993.
Baca juga: Peristiwa Kudatuli 27 Juli 1996 dan Kebungkaman Megawati
Kendati demikian beberapa kalangan pemerintah khawatir dengan kemunculan Megawati. Sebab, ia merupakan anak dari Presiden Soekarno, sehingga dapat menyebabkan berkembangnya kembali pemikiran Soekarno.
Peter Kasenda dalam buku Peristiwa 27 Juli 1996, Titik Balik Perlawanan Rakyat, menulis, pemerintah menggandeng Soerjadi untuk menyelenggarakan Kongres PDI di Medan pada 20-24 Juni 1996.
Meski mendapat penolakan dari DPP PDI versi Megawati, nyatanya Kongres PDI Medan versi Soerjadi tetap terlaksana di Wisma Haji, Pangkalan Mansyur, Medan.
DPP PDI versi Megawati tak mengakui keberadaan kongres di Medan dan tetap mengklaim Megawati sebagai pemimpin yang sah, legal dan konstitusional.
Sementara, pemerintah menyatakan bahwa mengakui kepemimpinan Soerjadi sebagai Ketum PDI yang sah.
Pengambilalihan kekuasaan oleh kubu Soerjadi itu memicu aksi penolakan di berbagai daerah oleh pendukung Megawati.
Aksi tersebut berujung pada penyerangan ke kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.
Perebutan kekuasaan tidak hanya terjadi di tubuh PDI. Dualisme kepemimpinan juga terjadi di beberapa partai politik (parpol) pasca-reformasi.
Baca juga: Kesaksian Rosihan Anwar Saat Kerusuhan 27 Juli 1996...
Pada 2008 terjadi konflik internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang bermula ketika Gus Dur, Ketua Umum Dewan Syuro PKB kala itu mencopot Muhaimin Iskandar dari jabatan Ketua Umum Dewan Tanfidz PKB.
Dari 30 orang yang hadir, 20 orang memilih opsi agar Muhaimin mundur, 5 orang mendukung agar digelar Muktamar Luar Biasa (MLB), 3 suara menolak MLB, dan 2 abstain.
Imbas pemecatan tersebut, Muhaimin kemudian menggugat Gus Dur ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada 14 April 2008.
Pada 30 April sampai 1 Mei 2008, PKB pimpinan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menggelar MLB di Ponpes Al-Asshriyyah, Parung, Bogor.
MLB tersebut menghasilkan keputusan Gus Dur sebagai Ketua Umum Dewan Syuro PKB. Lalu Ali Masykur Musa menggantikan Muhaimin sebagai Ketum Dewan Tanfidz, dan Yenny Wahid tetap sebagai Sekretaris Jenderal.