Tak lama berselang, Muhaimin bersama pengikutnya menggelar MLB PKB di Hotel Mercure Ancol. MLB ini kemudian menghasilkan Muhaimin sebagai Ketum PKB.
Baca juga: Tanda Tanya yang Belum Terjawab dari Kerusuhan 27 Juli 1996...
Usai MLB, PKB versi Muhaimin menyerahkan berkas pendaftaran ke kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jakarta pada Minggu (11/5/2008).
Pada 18 Juni 2008, PKB Muhaimin Iskandar membuka pendaftaran caleg pada 18 Juni hingga 1 Juli 2008.
Sementara itu, PKB versi Parung juga menggelar acara pendaftaran caleg PKB di Kantor DPP PKB Kalibata. Dalam acara tersebut, Ketum PKB versi Muktamar Parung Ali Masykur Musa memutuskan pensiun dari keanggotaan dalam Dewan Perwakilan Rakyat.
Sekjen PKB versi Parung Yenny Wahid menyebut Muhaimin dan orang-orang terdekatnya ikut kecipratan uang dari Yusuf Faishal, anggota DPR Fraksi PKB saat itu yang menjadi tersangka kasus dugaan suap alih fungsi hutan mangrove di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.
Mendengar namanya dicatut, Muhaimin lantas lewat kuasa hukumnya mengultimatum 3 X 24 jam bagi Yenny Wahid untuk mengklarifikasi pernyataannya.
Pada 18 Juli 2008, Kasasi PKB Gus Dur di Mahkamah Agung terkait konflik PKB ditolak. Pada putusan kasasi Nomor 441/kasus kasasi/Pdt/2008 itu, MA memutuskan struktur kepengurusan PKB kembali ke hasil Muktamar Semarang 2005.
Struktur kepengurusannya yaitu Gus Dur sebagai Ketum Dewan Syura, dan Muhaimin Iskandar sebagai Ketum Dewan Tanfidz.
Perebutan kekuasaan yang dialami oleh Partai Golkar terjadi pada 2014 di mana partai bergambar pohon beringin itu memiliki dua kepengurusan, yakni hasil Munas Bali dan hasil Munas Ancol.
Hasil Munas Bali mengukuhkan Aburizal Bakrie sebagai Ketum Golkar, sedangkan Munas Ancol menetapkan Agung Laksono sebagai ketum.
Munculnya dua kepengurusan ini diyakini karena Munas Bali digelar secara tidak demokratis.
Pada Munas Bali, sejumlah calon ketum Golkar seperti Airlangga Hartarto dan Hajriyanto mengundurkan diri.
Baca juga: Kasus Kudatuli yang Tak Tuntas Saat Megawati Menjabat Presiden...
Kemudian, pada Maret 2015, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mengeluarkan surat keputusan yang mengesahkan Golkar versi Agung Laksono.
Kala itu, Golkar kubu Agung Laksono menyatakan dukungan untuk pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Sementara, Golkar kubu Aburizal menyatakan sebagai oposisi.
Konflik itu tak berhenti pasca keluarnya SK Menkumham. Kubu Aburizal menggugat SK tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Dualisme tersebut akhirnya mencapai titik temu ketika kubu Aburizal dan Agung sepakat berdamai dan menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa pada medio 2016.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga sempat mengalami perpecahan dalam partai.
Perpecahan itu bermula ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketum PPP saat itu, Suryadharma Ali sebagai tersangka korupsi dana penyelenggaraan haji.
Pengurus pusat yang diinisiasi Romahurmuziy atau Rommy selaku Sekjen PPP saat itu memecat Suryadharma.
Tak terima dipecat, Suryadharma balik memecat Rommy.
Hal ini memicu digelarnya Muktamar PPP versi kubu Rommy di Surabaya. Hasilnya, Rommy terpilih sebagai ketum.
Baca juga: Mengenang Wiji Thukul, Aktivis yang Hilang Usai Peristiwa Kudatuli 1996
Sementara, kubu Suryadharma juga menggelar Muktamar di Jakarta dan memilih Djan Faridz sebagai ketum.
Pemerintah memilih mengesahkan PPP yang dipimpin oleh Rommy dan diakui sebagai peserta Pilkada 2017.