JAKARTA, KOMPAS.com - Kerusuhan 27 Juli 1996 atau Kudatuli merupakan salah satu peristiwa penting di era rezim Orde Baru.
Kerusuhan di kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) itu bermula ketika pendukung kubu Soerjadi tidak menerima hasil kongres luar biasa, pada 2-6 Desember 1993 di Surabaya.
Megawati terpilih sebagai Ketua Umum PDI, kemudian ditetapkan pada musyawarah nasional (munas), 22 Desember 1993 di Jakarta.
Namun, upaya pengambilalihan kepemimpinan partai masih terjadi.
Baca juga: 25 Tahun Kudatuli: Peristiwa Mencekam di Kantor PDI
Dikutip dari kompaspedia.kompas.id, pada 3 Juni 1996 sekitar 50 pengurus DPC PDI mendatangi Dirjen Sosial Politik Departemen Dalam Negeri Soetoyo NK. Mereka mengaku mewakili 215 cabang partai dari 21 DPD.
Dalam pertemuan itu mereka menyatakan keinginan untuk menyelesaikan persoalan partai melalui kongres.
Keinginan ini tampaknya didukung oleh beberapa kalangan pemerintah. Soetoyo mengatakan, pemerintah mempersilakan PDI untuk menyelenggarakan kongres.
Hasil kongres di Medan pada 22 Juni 1996 menetapkan Soerjadi sebagai ketua umum periode 1996-1998.
Menurut Kepala Staf Sosial Politik ABRI saat itu, Letjen Syarwan Hamid, pemerintah mengakui DPP PDI hasil Kongres Medan.
Dengan demikian, pemerintah tidak mengakui adanya DPP PDI pimpinan Megawati.
Baca juga: Cerita Budiman Sudjatmiko Dituding Jadi Dalang Kerusuhan 27 Juli 1996
Namun, dukungan untuk Megawati mengalir, terutama dari aktivis dan mahasiswa yang menentang rezim Soeharto.
Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro menjadi salah satu lokasi utama untuk pemberian dukungan kepada Megawati.
Berbagai upaya penyelesaian sengketa tidak berhasil hingga akhirnya terjadilah bentrokan pada Sabtu, 27 Juli 1996.
Kerusuhan tidak hanya terjadi di kantor PDI, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, tetapi juga meluas ke kawasan Megaria dan Cikini.
Bentrokan tidak hanya terjadi antara massa pendukung Megawati dan Soerjadi, melainkan juga aparat.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.