Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Jokowi dan "Corona End Game"

Kompas.com - 24/07/2021, 14:48 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

HARI-hari belakangan ini seruan dan ajakan untuk unjuk rasa pada hari Sabtu, 24 Juli 2021 terus bergema di linimasa.

Mereka beranggapan, pemerintah saat ini jauh api dari panggang alias gagal total dalam mengatasi pandemi Covid-19.

Kebijakan yang dikeluarkan rezim Jokowi seperti Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dianggap hanya menyengsarakan rakyat.

Ajakan turun ke jalan dengan melakukan longmarch dari Kawasan Glodok ke Istana Merdeka, Jakarta adalah untuk mendesak Jokowi supaya turun dari jabatan presiden.

Tidak hanya di Jakarta, seruan demo ini juga menjalar ke kota-kota besar melalui pesan berantai. Tanpa ada struktur rantai komando, tidak ada hirarki dan tidak ada penggerak, mereka yang mengklaim sebagai aksi unjuk rasa yang bersifat cair.

Berbeda dengan eskalasi aksi unjuk rasa di rezim Soeharto, pengunjuk rasa dengan terang-terangan menyebut nama kampus atau nama organisasinya.

Demikian juga saat era Susilo Bambang Yudhoyono, aksi protes kasus Bank Century juga “terang benderang” menyebut nama institusi yang melakukan unjuk rasa.

Kali ini di aksi unjuk rasa yang diberi tajuk “Jokowi End Game”, organisasi pengendara ojek online menolak dikait-kaitkan dengan kegiatan ini.

Para pedagang kaki lima di Kawasan Malioboro, Yogyakarta akan melawan para pendemo jika nekat memasuki kawasan perniagaan tersebut.

Belum lagi, dugaan foto para provokator demonstrasi disebar di berbagai linimasa sehingga gerakan ini layu sebelum berkembang.

Di saat kondisi rumah sakit dan fasilitas kesehatan yang membludak karena tidak mampu menampung pasien, proses penguburan jenazah yang terhambat lama karena semakin banyaknya pasien Covid yang wafat, antrean pengisian tabung oksigen di mana-mana serta semakin terbatasnya akses mobilitas, maka keputusan untuk aksi turun ke jalan sangatlah tidak tepat.

Belum lagi, potensi terjadinya penularan karena kerumunan massa sama saja dengan menambah beban rumah sakit yang sudah over kapasitas.

Pandangan publik yang sebelumnya mungkin simpati dengan tuntutan aspirasi para pendemo, tentu akan berupah menjadi antipati jika terjadi pelanggaran aturan protokol kesehatan dan anarkis.

Akan lebih berdampak strategis dan potensial menarik simpati luas jika aksi unjuk rasa turun ke jalan dialihkan kegiatan sosial dalam skala besar misal menjadi jaringan relawan membantu warga yang isolasi mandiri di rumah, menjadi relawan di Wisma Atlet dan shelter-shelter penampung penderita Covid, membantu dapur umum atau ikut meringankan beban penggali kuburan.

Aksi terpuji yang dilakukan mahasiswa Cianjur, Jawa Barat, Wisnu Sopian yang rela menempuh perjalanan jauh hanya untuk mengantarkan bahan makanan bagi penderita Covid yang tengah isolasi mandiri di rumah (Kompas.com, 21/07/2021), harusnya menjadi inspirasi gerakan sosial mahasiswa yang bisa dilakukan di masa pandemi.

Baca juga: Perjuangan Wisnu Sopian, Tempuh Jarak 40 Km demi Pasok Bantuan ke Warga Isoman

Tidak dapat dipungkiri, mahasiswa adalah agent of change di segala ranah kehidupan dan agent of social control yang terus menjunjung tinggi arus keterbukaan dan transparansi dalam pelaksanaan pemerintahan.

Tujuannya tentu agar jalannya pemerintahan tetap berpijak kepada kepentingan rakyat dan tidak lagi ada penyimpangan di aparatur negara.

Pada penekanan mahasiswa sebagai agent of social control, mahasiswa dituntut untuk tidak saja “jago” dalam melancarkan kritik tetapi juga dituntut untuk memberikan sumbangsih nyata.

Mahasiswa juga bisa menyampaikan aspirasi masyarakat. Jika aspirasi masyarakat adalah susahnya kehidupan di masa PPKM, tentu mahasiswa bisa membantu mencarikan solusinya.

Jika masyarakat yang tengah isolasi mandiri membutuhkan makanan, tentu mahasiswa harus mengerahkan segala daya kemampuannya untuk bisa meringankan beban penderita covid.

Setiap era, tentu ada tantangan yang berbeda. Di era reformasi 1998, tantangannya adalah bagaimana menurunkan pemerintahan tiran yang korup.

Di masa SBY, tantangannya adalah korupsi, kolusi dan nepotisme, Di zaman Jokowi, tentu saja masa pandemi covid-19 menjadi persoalan utama

Paradigma “Jokowi End Game” harusnya diganti dengan “Corona End Game”. Bersatu bersama, bergotongroyong bersama, melawan corona agar berkurang dan bisa ditanggulangi.

Kita layak berharap seperti di negara lain, warganya sudah bisa lepas masker dan bisa beraktivitas normal lagi. Kita harus mengejar (lagi) ketertinggalan di segala bidang akibat pandemi covid yang melumpuhkan semua aspek kehidupan.

Mawas diri untuk rezim Jokowi

Setiap gading gajah, pasti ada yang retak walau setipis apapun retakanya, demikian juga dengan pemerintahan Joko Widodo.

Proses perjalanan pemerintahan sekarang ini adalah rangkaian panjang dari pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.

Sebagai presiden yang tengah memimpin sekarang ini, tentu beban pembangunan yang belum dilakukan di masa presiden-presiden sebelumnya menjadi pekerjaan rumah yang harus dituntaskan Jokowi.

Jika di periode pertama, Jokowi begitu menggebu-gebu menggenjot pembangunan infratruktur, sebaliknya di periode keduanya tampak kedodoran sejak wabah Covid melanda tanah air di Maret 2020.

Persoalan Covid yang menghantam segala sendi kehidupan tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di hampir semua negara, tidak terkecuali di negara-negara super maju seperti di Amerika Serikat, Inggris, Jepang dan negara-negara lain.

Setiap negara memiliki tantangan yang berbeda-beda sehingga pola penanganannya juga tidak bisa dijadikan serupa.

Di luar Covid, siapa yang menyangka banjir bandang bisa terjadi di Jerman, Belanda, Belgia dan China ? Siapa yang mengira, ada ratusan warga menjadi korban banjir di Jerman.

Kekurangan yang terjadi di era Jokowi lebih kepada kelemahan konsolidasi dan koordinasi rentang kendali kepemimpinan.

Ibarat dirigen orkestra, masih ada suara sumbang dari pemain violin, ada yang salah memainkan bas, ada yang terlalu keras membetot gitar dan lain-lain.

Persoalan kekurangan pasokan oksigen misalnya seharusnya tidak boleh terjadi jika berkaca kepada pengalaman India.

Wabah Covid varian delta memang terjadi pada Juni 2021, tetapi Covid sendiri mulai terdeteksi di Maret 2020.

Sama dengan kelangkaan masker dan alat pelindung diri (APD) yang susah dicari di awal pandemi, setidaknya pasokan oksigen bisa berkaca kepada pengalaman ini.

Kementerian perindustrian dan BUMN harusnya tanggap dan menyiapkan skema ketersediaan di semua lini.

Kisah miris seorang warga Pontianak yang harus kehilangan nyawa ibunya yang tengah isolasi mandiri di rumah karena lama antre pengisian tabung oksigen (Kompas.com, 23 Juli 2021) adalah contoh fenomena kelangkaan oksigen yang juga terjadi di beberapa daerah.

Baca juga: Tangisan Shiri di Ujung Antrean Oksigen: Sudah Terlambat, Ibu Saya Sudah Meninggal

Masih rendahnya pelaksanaan vaksinasi, kekosongan obat dan vitamin di pasaran setidaknya menteri kesehatan harus lebih memacu kinerja jajarannya untuk meastikan ketersediannya.

Aksi peninjauan Presiden Jokowi ke sebuah apotik di Bogor, Jawa Barat (Kompas.com, 24/07/2021) harus ada tindak lanjutnya di tataran teknis agar kejadian kelangkaan obat dan vitamin tidak terjadi lagi.

Baca juga: Saat Jokowi Cari Obat Covid-19 di Sebuah Apotek tapi Tak Tersedia...

 

Silang sengkarut di Kementerian Pendidikan dan Ristek soal 3.500 dokter yang baru lulus tetapi tidak bisa dilibatkan dalam penanganan covid karena terkendala uji kompetensi, seharusnya tidak boleh terjadi (Kompas.com, 16/07/2021).

Baca juga: IDI: 3.500 Calon Dokter Tak Bisa Bantu Tangani Pandemi karena Terhambat Aturan Ditjen Dikti

 

Keadaan kegentingan di pelayanan kesehatan harusnya bisa menjadi bahan pertimbangan untuk tidak mengedepankan persoalan formal birokrasi.

Pola kerja cepat Jokowi kerap tidak bisa diimplementasikan dengan baik oleh jajaran anak buahnya.

Jokowi seharusnya tidak tersandera dengan berbagai kepentingan politis yang ada di belakangnya.

Tidak ada beban politis lagi karena periode kedua ini adalah periode terakhir kepemimpinannya.

Periodesasi kepemimpinan harus diselesaikan sesuai konstitusi. Jokowi harusnya bertindak sebagai montir di bengkel kendaraan, jika ada spareparts yang aus, sebaiknya diganti dengan sukucadang yang baru.

Jika ada pembantunya yang tidak bisa diajak “berlari cepat” maka dia harus segera bertindak mencari sprinter baru. Kepemimpinan harus meninggalkan legacy, demikian juga yang harus dilakukan Joko Widodo.

“Pemimpin yang efektif bukan soal pintar berpidato dan mencitrakan diri agar disukai. Kepemimpinan tergambar dari hasil kerjanya, bukan atribut-atributnya." (Peter F. Drucker).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Menlu Sebut Judi Online Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Menlu Sebut Judi Online Jadi Kejahatan Transnasional, Mengatasinya Perlu Kerja Sama Antarnegara

Nasional
PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi 'Effect'

PDI-P Percaya Diri Hadapi Pilkada 2024, Klaim Tak Terdampak Jokowi "Effect"

Nasional
Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

Harap Kemelut Nurul Ghufron dan Dewas Segera Selesai, Nawawi: KPK Bisa Fokus pada Kerja Berkualitas

Nasional
Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode Sejak Menang PIlpres 2019

Hasto Ungkap Jokowi Susun Skenario 3 Periode Sejak Menang PIlpres 2019

Nasional
Ikut Kabinet atau Oposisi?

Ikut Kabinet atau Oposisi?

Nasional
Gugat KPU ke PTUN, Tim Hukum PDI-P: Uji Kesalahan Prosedur Pemilu

Gugat KPU ke PTUN, Tim Hukum PDI-P: Uji Kesalahan Prosedur Pemilu

Nasional
Said Abdullah Paparkan 2 Agenda PDI-P untuk Tingkatkan Kualitas Demokrasi Elektoral

Said Abdullah Paparkan 2 Agenda PDI-P untuk Tingkatkan Kualitas Demokrasi Elektoral

Nasional
Halalbihalal dan Pembubaran Timnas Anies-Muhaimin Ditunda Pekan Depan

Halalbihalal dan Pembubaran Timnas Anies-Muhaimin Ditunda Pekan Depan

Nasional
Hadiri KTT OKI, Menlu Retno Akan Suarakan Dukungan Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

Hadiri KTT OKI, Menlu Retno Akan Suarakan Dukungan Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

Nasional
PM Singapura Bakal Kunjungi RI untuk Terakhir Kali Sebelum Lengser

PM Singapura Bakal Kunjungi RI untuk Terakhir Kali Sebelum Lengser

Nasional
Pengamat: Prabowo-Gibran Butuh Minimal 60 Persen Kekuatan Parlemen agar Pemerintah Stabil

Pengamat: Prabowo-Gibran Butuh Minimal 60 Persen Kekuatan Parlemen agar Pemerintah Stabil

Nasional
Timnas Kalahkan Korea Selatan, Jokowi: Pertama Kalinya Indonesia Berhasil, Sangat Bersejarah

Timnas Kalahkan Korea Selatan, Jokowi: Pertama Kalinya Indonesia Berhasil, Sangat Bersejarah

Nasional
Jokowi Minta Menlu Retno Siapkan Negosiasi Soal Pangan dengan Vietnam

Jokowi Minta Menlu Retno Siapkan Negosiasi Soal Pangan dengan Vietnam

Nasional
Ibarat Air dan Minyak, PDI-P dan PKS Dinilai Sulit untuk Solid jika Jadi Oposisi Prabowo

Ibarat Air dan Minyak, PDI-P dan PKS Dinilai Sulit untuk Solid jika Jadi Oposisi Prabowo

Nasional
Jokowi Doakan Timnas U23 Bisa Lolos ke Olimpiade Paris 2024

Jokowi Doakan Timnas U23 Bisa Lolos ke Olimpiade Paris 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com