Ketiga, percepatan pemekaran provinsi di wilayah Papua seperti yang disampaikan oleh Mendagri pada 27 Juni 2021 dalam Rapat Pansus tentang tanggapan pemerintah atas DIM DPR/ DPD bahwa alasan pemekaran didasarkan pada beberapa faktor yaitu situasi geografis dan isolasi wilayah, kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat, serta memperpendek rentang kendali birokrasi pemerintahan dan jangkauan pembangunan dan pelayanan pemerintahan untuk peningkatan kesejahteraan.
Hal yang tidak kalah penting, menurut Mendagri Tito Karnavian, aspirasi pemekaran merupakan aspirasi dari elite Papua sendiri agar daerahnya dimekarkan.
Baca juga: Kelanjutan RUU Otsus Papua, DIM Disetujui Pansus hingga Pembentukan Panja...
Realitas politik di Pansus Otsus DPR RI dengan DIM yang ditolak dan disetujui sementara ini 49 DIM (21 plus 28), karena sidang Pansus masih berlangsung, dengan argumentasi Pemerintah seperti itu maka kita dengan cepat dapat simpulkan perubahan kedua Otsus jauh dari memadai, dan DIM yang ditolak itu berkaitan dengan masalah politik dan hak – hak asasi manusia.
Artinya, pemerintah bersikap status quo untuk tidak melakukan perubahan terhadap pasal – pasal yang menyangkut politik dan hak–hak asasi manusia. Argumentasi pemerintah dapat difahami selama dua puluh tahun implementasi Otsus konsentrasi hanya pada aspek politik sehingga mengabaikan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama Orang Asli Papua (OAP).
Pemerintah berpendapat bahwa dana Otsus dan dana pembangunan yang dialirkan ke Papua tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan OAP.
Bahkan disinyalir akhir akhir ini Dana Otsus dan dana dana pembangunan dimanfaatkan untuk kepentingan dan kebutuhan yang tidak ada relevansi sama sekali dengan tujuan Otsus.
Alasan ini sebenarnya masih dapat didiskusikan dan diperdebatkan, namun menurut pendapat saya ingin menggaris bawahi didalam UU No 21/2001 terdapat 43 pasal yang berkaitan dengan masalah hak hak Politik dan HAM, sedangkan 22 pasal mengatur tentang soal pembangunan dan kesejahteraan atau Ecosoc ( Ekonomi, Sosial dan Cultur).
Namun ada cara lain yang dapat melihat perkembangan selama dua puluh tahun yang lalu guna menjawab pertanyaan mengapa Pemerintah tiba pada kesimpulan untuk lebih fokus pada masalah percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua.
Indikator yang lazim digunakan untuk menggambarkan argumentasi itu adalah IPM ( Indeks Pembangunan Manusia) dan angka kemiskinan sehingga dapat mengoptimalkan penggunaan Dana Otsus.
Baca juga: Revisi UU Otsus Papua, Pansus Minta Ada Evaluasi Tahunan setelah UU Berjalan
Menurut laporan BPS tahun 2020, IPM Provinsi Papua dan Papua Barat pada tahun 2019 masing – masing sebesar 60,84 dan 64,70. Angka ini lebih rendah dari IPM Indonesia yang telah mencapai 71,92. Pada saat yang sama IPM Kota Jayapura di Provinsi Papua memiliki IPM 80,16 dan kota Sorong di Papua Barat mencapai 77,89 ( Agus Sumule, 2021).
Dalam kaitan itu dengan pelaksanaan Otsus yang subyeknya OAP maka yang perlu dikaji adalah IPM dari kabupaten–kabupaten dimana jumlah penduduk mayoritasnya OAP.
Misalnya di Pegunungan Tengah yang mencakup 14 kabupaten, yaitu, Jayawijaya, Mamberamo Tengah, Yahukimo, Yalimo, Nduga, Tolikara, Lanny Jaya, Pegunungan Bintang, Paniai, Deiyai, Dogiyai, Intan Jaya, Puncak Jaya dan Puncak. Kabupaten–kabupaten ini relatif terisolasi dan tidak memiliki akses ke wilayah laut.
Jumlah penduduk diwilayah Pegunungan Tengah kurang lebih sama 49,28 persen dengan jumlah penduduk Provinsi Papua di luar Kawasan Pegunungan Tengah.
Dari data BPS 2020 memberikan gambaran IPM (dalam persen) di Jayawijaya (57,79), Mamberamo Tengah (47,23), Yahukimo (49,25), Yalimo (48,08), Nduga (30,75), Tolikara (49,68), Lanny Jaya (48,00), Pegunungan Bintang (45,21), Paniai ( 56,58), Deiyai (50,11), Dogiyai (55,41), Intan Jaya (47,51), Puncak Jaya (48,33) dan Puncak (42,70).
Rata – rata IPM di Kawasan Pegunungan Tengah adalah 48,33, sedangkan Provinsi Papua 60, 84 dan Indonesia 71,92. ( BPS 2020).