Dari angka IPM per kabupaten di Kawasan Pegunungan Tengah dapat disimpulkan IPM di kawasan ini lebih rendah dari rata rata IPM Provinsi Papua dan Indonesia umumnya. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas hidup OAP lebih rendah dibandingkan Non-Papua di Tanah Papua.
Realitas ini juga menunjukan bahwa akses OAP terhadap pembangunan kesehatan, pendidikan, dan ekonomi masih sangat terbatas. Ironisnya, bahwa ada kabupaten di kawasan ini yang angka IPM-nya sangat rendah hanya 30,75 persen. Angka ini jika dibandingkan dengan kawasan dunia lain boleh jadi terendah di dunia.
Angka kemiskinan pada tahun 1999 BPS mencatat bahwa tingkat kemiskinan di Provinsi Irian Jaya, sebelum Otsus mencapai 54,75 persen. Pada tahun 2020 setelah pemberlakukan Otsus tingkat kemiskinan tersebut mengalami penurunan yaitu sebesar 26,8 persen untuk Provinsi Papua dan 21,7 persen untuk Provinsi Papua Barat. (Agus Sumule, 2021).
Pada saat yang sama dilaporkan bahwa tingkat kemiskinan di Tanah Papua hari ini masih tinggi. Terlihat dari data IPM dan Angka Kemiskinan di Papua dan Papua Barat jika dikaitkan dengan pertanyaan bagaimana pengelolaan Dana Otsus ke depan (2022 – 2042). Karena itu pemerintah menambah Dana Otsus dari 2 peren menjadi 2,25 persen dari platfon DAU Nasional.
Dari 2,25 persen untuk meningkatkan manfaatnya maka Dana Otsus akan dikelola dengan mekanisme 1 persen dalam bentuk block grant. Dana block grant tersebut dikelola oleh Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat seperti selama ini. Earmark artinya tujuan dan program pemanfaatan dana tersebut sudah ditentukan sebelumnya oleh pemberi dana atau sponsor, dalam hal ini pemerintah pusat.
Menurut Agus Sumule dari Universitas Negeri Papua, apa yang mesti dilakukan pada kurun waktu 2022–2042 pemberlakukan Dana Otsus 2,25 persen dari platfon DAU nasional, kapasitas fiskal Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat termasuk kabupaten/kota bisa meningkat signifikan dan benar–benar mampu mendorong peningkatan kesejahteraan Orang Asli Papua.
Selain itu, ngototnya pemerintah yang memasukkan kewenangannya untuk melakukan pemekaran provinsi tanpa melalui konsultasi dengan MRP dan DPRP, serta menyampingkan syarat–syarat pembentukan DOB ( Daerah Otonomi Baru) dari UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, adalah memastikan pemerintah daerah yang terbentuk dari hasil pemekaran benar–benar dapat berfungsi secara baik dan benar.
Sehingga pemekaran wilayah tidak mendatangkan mudarat tapi manfaat untuk masyarakat dan daerahnya. Perubahan Kedua UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua ini diharapkan dalam dua dekade ke depan dapat mengubah “wajah” Papua yang semakin memberikan kesejahteraan bagi masyarakat asli Papua di wilayahnya. Semoga! (* Frans Maniagasi | Pengamat Politik Lokal Papua)