JAKARTA, KOMPAS.com - Pada 11 Maret 1998, seperti biasa yang dilakukan pimpinan sidang, Ketua DPR-MPR Harmoko menutup sidang dengan mengetukkan palu sebanyak tiga kali.
Namun, pada hari itu, palu sidang mendadak patah saat diketuk Harmoko. Kepala palu terlempar ke depan meja jajaran anggota MPR. Hal itu diungkap oleh Harmoko dalam buku Berhentinya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Harmoko.
"Begitu palu sidang saya ketukkan, meleset, bagian kepalanya patah, kemudian terlempar ke depan...," ungkap Harmoko dalam buku tersebut.
Baca juga: Patahnya Palu dan Firasat Harmoko Ihwal Kejatuhan Soeharto
Selaku orang Jawa, Harmoko bertanya-tanya mengenai peristiwa tersebut. Terlebih, patahnya palu sidang baru kali itu terjadi.
Patahnya palu sidang itu terjadi saat Sidang Paripura ke-V, penutupan sidang MPR. Sidang tersebut menandai terpilihnya lagi Soeharto sebagai presiden untuk ketujuh kalinya.
Sayangnya, usai terpilih, Soeharto dihadapkan dengan aksi-aksi demonstrasi besar.
Saat itu sejumlah mahasiswa melakukan aksi demonstrasi menolak kepemimpinan Presiden Soeharto. Namun,aksi demonstrasi mahasiswa itu pun berubah menjadi tragedi pada 12 Mei 1998.
Penyebabnya, pada waktu itu, aparat keamanan bertindak represif dalam menangani demonstrasi mahasiswa di Universitas Trisakti. Aparat keamanan menangani aksi demontrasi dengan kekerasan dan penembakan.
Akibatnya, empat mahasiswa Trisakti tewas. Sementara itu, 681 orang mengalami luka-luka dalam Tragedi Trisakti.
Baca juga: 18 Tahun Silam, Ketua DPR/MPR Harmoko Minta Presiden Soeharto Mundur
Selain itu, kerusuhan kembali terjadi dan bernuansa rasial setelah Tragedi Trisakti, pada 13-15 Mei 1998. Ada dugaan kerusuhan itu sebagai upaya mengalihkan perjuangan mahasiswa untuk menuntut mundur Soeharto dan kepemimpinan Orde Baru.
Namun, semangat mahasiswa tak henti melengserkan Soeharto meski kekerasan telah dilakukan oknum aparat keamanan dalam Tragedi Trisakti 13-15 Mei 1998.
Mengutip buku Mahasiswa dalam Pusaran Reformasi 1998, Kisah yang Tak Terungkap (2016), berbagai elemen aksi mahasiswa kemudian menyatukan gerakan.
Dua kelompok mahasiswa Universitas Indonesia misalnya, Senat Mahasiswa UI dan Keluarga Besar UI, sepakat untuk ikut bergerak bersama.
Pada 18 Mei 1998, para mahasiswa UI ini memutuskan melakukan aksi demonstrasi menuju gedung DPR RI dan bergabung dengan kelompok mahasiswa lainnya.
Baca juga: Saat Harmoko Jawab Guyonan soal Hari-hari Omong Kosong