JAKARTA, KOMPAS.com – Amnesty International Indonesia menyayangkan sikap Pemerintah Indonesia yang menolak pembahasan resolusi Responsibility to Protect (R2P) saat pengambilan suara di Sidang Majelis Umum PBB atau United Nations General Assembly (UNGA), Selasa (18/5/2021).
Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, penolakan tersebut menunjukkan pemerintah tidak serius dalam menyikapi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
“Sikap itu memperlihatkan rendahnya komitmen Indonesia dalam memajukan dan melindungi hak asasi manusia di dunia. Padahal Indonesia adalah anggota tidak tetap dewan HAM PBB,” ujar Usman, dalam keterangan pers, Kamis (20/5/2021).
Baca juga: Indonesia Tolak Pembahasan Rancangan Resolusi Responsibility to Protect, Ini Penjelasan Kemenlu
Usman berpandangan, secara tidak langsung penolakan tersebut juga mencerminkan rendahnya komitmen pemerintah dalam memperbaiki isu pelanggaran HAM di dalam negeri.
Ia mencontohkan kasus-kasus pelanggaran HAM berat hingga pelanggaran yang masih terjadi di wilayah Papua.
“Penolakan resolusi ini juga mencerminkan komitmen domestik Indonesia yang terlihat setengah hati dalam memperbaiki keadaan hak asasi manusia di negeri sendiri, seperti pelanggaran HAM yang terjadi di Papua dan penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya,” ujarnya.
Selain itu, Usman juga menyoroti kekerasan yang terjadi di Palestina. Ia mengingatkan, Indonesia memiliki hubungan dengan Palestina serta mendukung agar kekerasan yang terjadi di wilayah tersebut segera dihentikan.
“Perlu diingat bahwa Indonesia mempunyai hubungan dekat dengan Palestina, dan sangat mendukung untuk penghentian kekerasan yang dilakukan oleh aparat Israel terhadap warganya,” tutur Usman.
Baca juga: Ini Alasan Indonesia Tolak Pembahasan Resolusi Responsibility to Protect
Konsep atau gagasan R2P merupakan prinsip dan kesepakatan internasional yang bertujuan mencegah pemusnahan massal, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dalam dokumen yang beredar, Indonesia dan 14 negara lain menolak, sebanyak 115 negara mendukung, dan 28 negara memilih untuk abstain atas resolusi tersebut.
Sementara, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) menegaskan, Indonesia hanya menolak usulan untuk membentuk agenda baru tahunan terkait tempat pembahasan R2P.
Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kemenlu Febrian A Ruddyard menekankan, Indonesia tidak menolak substansi dari konsep R2P.
“Memang ada semacam kesimpangsiuran mengenai resolusi yang kita vote against (menolak). Jadi sama sekali resolusi ini bukan resolusi substantif,” kata Febrian dalam konferensi pers, Kamis (20/5/2021).
Baca juga: Pemerintah Diharapkan Ratifikasi Statuta Roma
Menurut dia, Indonesia berpandangan konsep R2P yang dihasilkan pada World Summit Outcome, 2005, masih relevan.
Febrian menuturkan, penolakan Indonesia ini berbeda dengan negara-negara yang menolak karena tidak menyetujui konsep R2P.
Menurutnya, ada negara yang menolak konsep R2P secara keseluruhan. Namun, ada pula negara-negara yang hanya menolak pembahasan resolusi, tetapi tetap mendukung konsep R2P seperti Indonesia.
"Kita memandang daripada bikin (resolusi) baru lagi yang tidak bisa dijawab dengan benar, kenapa enggak pakai yang lama, kenapa mesti bikin baru lagi kalau (resolusi agenda) yang lama saja sudah bisa jalan," ujar Febrian.
“Itu sebabnya pada saat voting kita gunakan explanation of vote, karena kalau kita tidak lakukan kita akan berada dengan basket yang sama dengan orang-orang yang tidak suka R2P,” tutur dia.
Baca juga: Pertemuan Majelis Umum PBB, Menlu Retno Serukan Penghentian Kekerasan terhadap Warga Palestina
Secara terpisah, Juru Bicara Kemenlu Teuku Faizasyah menekankan penolakan Indonesia itu terkait pembentukan agenda baru tahunan dalam rangka membahas resolusi R2P.
Faizasyah menjelaskan sejumlah alasan mengapa Indonesia menolak pembahasan rancangan resolusi tersebut.
Pertama, Indonesia menilai tidak perlu ada pembentukan agenda baru, karena pembahasan R2P di Sidang Majelis Umum PBB selama ini sudah berjalan dan penyusunan laporan Sekjen PBB selalu dapat dilaksanakan.
Kedua, Responsibility to Protect dalam Sidang Umum PBB sudah memiliki agenda, yakni Follow Up to Outcome of Millenium Summit.
Ketiga, konsep R2P sudah jelas tertulis di Resolusi 60/1 Tahun 2005, atau The 2005 World Summit Outcome Document, paragraf 138–139.
Konsep R2P mengandung tiga gagasan pilar. Pertama, tanggung jawab negara untuk melindungi rakyatnya dari pemusnahan massal, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kedua, komitmen komunitas internasional untuk membantu negara-negara menjalankan tanggung jawabnya itu.
Ketiga, tanggung jawab setiap negara anggota PBB untuk merespons secara kolektif, tepat waktu dan tegas ketika suatu negara gagal memberikan perlindungan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.