Penelitian vaksin Nusantara berlokasi di RS Dr Kariadi Semarang, tetapi komite etiknya berasal dari RSPAD Gatot Subroto Jakarta. Menurut Penny, hal ini keliru. Ia beralasan, komite etik seharusnya berasal dari tempat penelitian karena mereka bertanggung jawab menjamin keselamatan subjek penelitian.
Selain itu, ia juga mengkritik tim peneliti vaksin Nusantara yang mengabaikan uji praklinik terhadap hewan dan langsung melakukan uji klinis fase pertama kepada manusia.
Baca juga: Vaksin Nusantara Pengembangan Harus Sesuai Kaidah Ilmiah dan Medis, Ini Kata Ahli
Menurut survei Litbang Kompas, 58 persen responden menyatakan bersedia divaksinasi dengan vaksin dalam negeri.
Vaksin lokal disambut positif oleh warga dari berbagai level pendidikan, mulai dari berpendidikan tinggi (61,2 persen), berpendidikan menengah (58,8 persen), hingga berpendidikan dasar (62,7 persen).
Derajat penerimaan masyarakat semakin besar ketika mereka diminta memilih vaksin produksi dalam negeri atau vaksin produksi luar negeri.
Hasilnya, sebanyak 70 persen responden lebih memilih vaksin produksi dalam negeri, dan mereka juga tidak meragukan kemampuan badan usaha milik negara Biofarma sebagai produsen vaksin.
Ketika responden ditanyakan kesediaannya divaksinasi dengan menggunakan vaksin yang diproduksi China, penolakan dan perimaan masyarakat relatif imbang. Sebanyak 38 persen responden menolak, 34 persen menerima, dan 22 persen ragu-ragu.
Juga relatif imbang penolakan dan penerimaan masyarakat terhadap vaksin yang diproduksi Amerika Serikat dan negara-negara kawasan Eropa Barat. Sebanyak 38 persen responden menolak vaksin buatan Amerika, 32 persen menerima, dan 21 persen ragu-ragu.
Survei ini dilakukan pada 27 Desember 2020 hingga 9 Januari 2021. Litbang melakukan wawancara tatap muka dan menggunakan metode pencuplikan acak proporsional bertingkat untuk memilih 2.000 responden dari 34 provinsi. Tingkat kepercayaan mencapai 95 persen dengan margin of error penelitian sebesar 2,83 persen.
Besarnya dukungan masyarakat terhadap vaksin dalam negeri menunjukkan besarnya harapan mereka agar Indonesia bisa menjadi bangsa yang mandiri di tengah pagebluk Covid-19.
Apabila berhasil memproduksi vaksin sendiri, Indonesia tidak perlu bergantung kepada negara-negara produsen vaksin, dan apabila mereka mengembargo vaksinnya, Indonesia tidak perlu kewalahan seperti saat ini.
Sebagai anggota Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi (GAVI), Indonesia mendapatkan komitmen kiriman 125 juta dosis vaksin Sinovac dan 50 juta dosis vaksin Novavax. Menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, bantuan ini gratis. Akan tetapi, tidak pernah ada “makan siang gratis” di dalam kerja sama internasional.
Baca juga: Menlu Retno: Hentikan Politisasi dan Nasionalisme Vaksin Covid-19
Karena pengembangan vaksin Nusantara telah ditunda, pengembangan vaksin Merah Putih perlu dipercepat. Selain itu, komunikasi antara tim peneliti vaksin lokal dan BPOM perlu dijembatani pemerintah agar penelitian vaksin dalam begeri bisa segera dilanjutkan kembali.
Vaksin merupakan kunci untuk menggerakkan kembali mobilitas masyarakat dan menumbuhkan sektor riil dan dunia usaha.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi juga perlu terus meningkatkan komunikasi dengan WHO, UNICEF, dan GAVI untuk mengamankan suplai vaksin multilateral yang saat ini sedang diperebutkan banyak negara.