Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Komnas HAM Soroti Sejumlah UU Terkait Hak Asasi Manusia dan Lembaganya

Kompas.com - 06/04/2021, 14:42 WIB
Nicholas Ryan Aditya,
Bayu Galih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik mengatakan, ada beberapa instrumen peraturan perundang-undangan yang masih diperlukan bagi efektivitas pelaksanaan tugas Komnas HAM.

Hal pertama yang diungkapkan Taufan adalah Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

Ia mengatakan, dalam UU HAM, jumlah anggota Komnas HAM masih tertulis 35 orang. Namun, saat ini jumlah anggota Komnas HAM adalah tujuh orang.

"Jadi mungkin ini nanti perlu ada penjelasan yang lebih tegas, kalau ada revisi di dalam perundang-undangan," kata Ahmad dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi III DPR dengan Ketua Komnas HAM, Selasa (6/4/2021).

Baca juga: Komnas HAM Dorong Pemerintah Hapus Hukuman Mati dengan Skema Masa Percobaan 10 Tahun

Selain itu, Taufan juga mengatakan, perlunya revisi UU HAM untuk melengkapi konsep Komnas HAM sebagai lembaga pengawas.

Ia menerangkan, Komnas HAM sebagai lembaga pengawas bertugas menegakkan independensi, keadilan, keterbukaan, akuntabilitas, imparsialitas, kesamaan dan kesetaraan, dan nondiskriminasi.

"Kemudian dalam RUU HAM juga perlu memperkuat kewenangan untuk memberi rekomendasi yang menurut kami, selama ini belum mengikat secara hukum. Dan kami tawarkan untuk nanti kalau ada revisi itu, rekomendasinya bisa mengikat secara hukum," ucap dia.

Instrumen peraturan perundang-undangan lainnya yang didorong Komnas HAM adalah perlunya pemerintah meratifikasi Optional Protocol Convention Against Torture (OPCAT) atau protokol opsional konvensi internasional.

Baca juga: Rapat dengan Komisi III DPR, Komnas HAM Tegaskan Dukung RUU ITE

Ia menjelaskan, OPCAT sendiri bertujuan untuk memberikan standar tentang upaya pencegahan dan perlakuan yang tidak manusiawi, terutama di tempat-tempat di mana kemerdekaan seseorang dicabut dan memberikan mekanisme nasional pemantauan dan pencegahan terjadinya penyiksaan.

Menurut Taufan, konvensi internasional sendiri sudah diratifikasi pada 1998. Namun, OPCAT dari konvensi internasional tak kunjung diratifikasi.

"Kita sudah berdiskusi dengan pihak pemerintah, dalam hal ini Menko Polhukam, dan kementerian/lembaga lain, untuk mendiskusikan langkah-langkah ratifikasi. Setelah ini kami juga akan menyampaikan usulan draft kami kepada DPR," ucapnya.

Kemudian, Taufan juga mendorong revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) khususnya mengenai penghapusan hukuman mati.

Baca juga: Komnas HAM Minta BNPT Tak Gegabah Tetapkan KKB di Papua Organisasi Terorisme

Menurut dia, Komnas HAM berharap bahwa penghapusan hukuman mati agar selaras dengan kewajiban Indonesia berdasarkan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

"Memang tidak ada pernyataan resmi atau moratorium, tetapi dalam beberapa tahun terakhir, secara informal sebetulnya kita sudah tidak lagi memperlihatkan apa yang kita sebut deadlaw yang selama ini mendapatkan kritik," ucapnya.

Selain itu, Komnas HAM juga mengusulkan pengaturan tentang tindak pidana internasional dalam hal ini HAM berat, untuk dikeluarkan dari RKUHP karena asas-asas yang berbeda.

Taufan juga mengatakan bahwa Komnas HAM meminta Revisi UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Revisi UU tersebut diperlukan dalam kaitannya memperluas yurisdiksi atas kejahatan lain berdasarkan hukum internasional, termasuk kejahatan perang, kejahatan agresi, penyiksaan, eksekusi di luar hukum, penghilangan paksa.

"Mengenai yurisdiksi, selama ini hanya ada dua. Sementara di statuta Roma itu ada empat. Tapi agresi dan kejahatan perang belum masuk. Termasuk juga mungkin penyiksaan, eksekusi di luar hukum, dan penghilangan paksa," ucap dia.

"Kemudian, tak kalah pentingnya adalah, memastikan Komnas HAM bisa mengirim semua hasil penyelidikan terkait kejahatan berdasarkan hukum," kata Taufan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Duet Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim Baru Disetujui Demokrat, Gerindra-Golkar-PAN Belum

Duet Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim Baru Disetujui Demokrat, Gerindra-Golkar-PAN Belum

Nasional
Panglima TNI Kunjungi Markas Pasukan Khusus AD Australia di Perth

Panglima TNI Kunjungi Markas Pasukan Khusus AD Australia di Perth

Nasional
Spesifikasi Rudal Exocet MM40 dan C-802 yang Ditembakkan TNI AL saat Latihan di Bali

Spesifikasi Rudal Exocet MM40 dan C-802 yang Ditembakkan TNI AL saat Latihan di Bali

Nasional
Dubes Palestina Yakin Dukungan Indonesia Tak Berubah Saat Prabowo Dilantik Jadi Presiden

Dubes Palestina Yakin Dukungan Indonesia Tak Berubah Saat Prabowo Dilantik Jadi Presiden

Nasional
Gambarkan Kondisi Terkini Gaza, Dubes Palestina: Hancur Lebur karena Israel

Gambarkan Kondisi Terkini Gaza, Dubes Palestina: Hancur Lebur karena Israel

Nasional
Ada Isu Kemensos Digabung KemenPPPA, Khofifah Menolak: Urusan Perempuan-Anak Tidak Sederhana

Ada Isu Kemensos Digabung KemenPPPA, Khofifah Menolak: Urusan Perempuan-Anak Tidak Sederhana

Nasional
DPR Disebut Dapat KIP Kuliah, Anggota Komisi X: Itu Hanya Metode Distribusi

DPR Disebut Dapat KIP Kuliah, Anggota Komisi X: Itu Hanya Metode Distribusi

Nasional
Komisi II DPR Sebut Penambahan Kementerian Perlu Revisi UU Kementerian Negara

Komisi II DPR Sebut Penambahan Kementerian Perlu Revisi UU Kementerian Negara

Nasional
Pengamat Dorong Skema Audit BPK Dievaluasi, Cegah Jual Beli Status WTP

Pengamat Dorong Skema Audit BPK Dievaluasi, Cegah Jual Beli Status WTP

Nasional
Maju Nonpartai, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Wali Kota dan Bupati Independen?

Maju Nonpartai, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Wali Kota dan Bupati Independen?

Nasional
Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Minim Pengawasan

Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Minim Pengawasan

Nasional
DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu hingga Mei

DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu hingga Mei

Nasional
DKPP Keluhkan Anggaran Minim, Aduan Melonjak Jelang Pilkada 2024

DKPP Keluhkan Anggaran Minim, Aduan Melonjak Jelang Pilkada 2024

Nasional
Jawab Prabowo, Politikus PDI-P: Siapa yang Klaim Bung Karno Milik Satu Partai?

Jawab Prabowo, Politikus PDI-P: Siapa yang Klaim Bung Karno Milik Satu Partai?

Nasional
Pengamat Sarankan Syarat Pencalonan Gubernur Independen Dipermudah

Pengamat Sarankan Syarat Pencalonan Gubernur Independen Dipermudah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com