Salin Artikel

Komnas HAM Soroti Sejumlah UU Terkait Hak Asasi Manusia dan Lembaganya

Hal pertama yang diungkapkan Taufan adalah Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).

Ia mengatakan, dalam UU HAM, jumlah anggota Komnas HAM masih tertulis 35 orang. Namun, saat ini jumlah anggota Komnas HAM adalah tujuh orang.

"Jadi mungkin ini nanti perlu ada penjelasan yang lebih tegas, kalau ada revisi di dalam perundang-undangan," kata Ahmad dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi III DPR dengan Ketua Komnas HAM, Selasa (6/4/2021).

Selain itu, Taufan juga mengatakan, perlunya revisi UU HAM untuk melengkapi konsep Komnas HAM sebagai lembaga pengawas.

Ia menerangkan, Komnas HAM sebagai lembaga pengawas bertugas menegakkan independensi, keadilan, keterbukaan, akuntabilitas, imparsialitas, kesamaan dan kesetaraan, dan nondiskriminasi.

"Kemudian dalam RUU HAM juga perlu memperkuat kewenangan untuk memberi rekomendasi yang menurut kami, selama ini belum mengikat secara hukum. Dan kami tawarkan untuk nanti kalau ada revisi itu, rekomendasinya bisa mengikat secara hukum," ucap dia.

Instrumen peraturan perundang-undangan lainnya yang didorong Komnas HAM adalah perlunya pemerintah meratifikasi Optional Protocol Convention Against Torture (OPCAT) atau protokol opsional konvensi internasional.

Ia menjelaskan, OPCAT sendiri bertujuan untuk memberikan standar tentang upaya pencegahan dan perlakuan yang tidak manusiawi, terutama di tempat-tempat di mana kemerdekaan seseorang dicabut dan memberikan mekanisme nasional pemantauan dan pencegahan terjadinya penyiksaan.

Menurut Taufan, konvensi internasional sendiri sudah diratifikasi pada 1998. Namun, OPCAT dari konvensi internasional tak kunjung diratifikasi.

"Kita sudah berdiskusi dengan pihak pemerintah, dalam hal ini Menko Polhukam, dan kementerian/lembaga lain, untuk mendiskusikan langkah-langkah ratifikasi. Setelah ini kami juga akan menyampaikan usulan draft kami kepada DPR," ucapnya.

Kemudian, Taufan juga mendorong revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) khususnya mengenai penghapusan hukuman mati.

Menurut dia, Komnas HAM berharap bahwa penghapusan hukuman mati agar selaras dengan kewajiban Indonesia berdasarkan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

"Memang tidak ada pernyataan resmi atau moratorium, tetapi dalam beberapa tahun terakhir, secara informal sebetulnya kita sudah tidak lagi memperlihatkan apa yang kita sebut deadlaw yang selama ini mendapatkan kritik," ucapnya.

Selain itu, Komnas HAM juga mengusulkan pengaturan tentang tindak pidana internasional dalam hal ini HAM berat, untuk dikeluarkan dari RKUHP karena asas-asas yang berbeda.

Taufan juga mengatakan bahwa Komnas HAM meminta Revisi UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Revisi UU tersebut diperlukan dalam kaitannya memperluas yurisdiksi atas kejahatan lain berdasarkan hukum internasional, termasuk kejahatan perang, kejahatan agresi, penyiksaan, eksekusi di luar hukum, penghilangan paksa.

"Mengenai yurisdiksi, selama ini hanya ada dua. Sementara di statuta Roma itu ada empat. Tapi agresi dan kejahatan perang belum masuk. Termasuk juga mungkin penyiksaan, eksekusi di luar hukum, dan penghilangan paksa," ucap dia.

"Kemudian, tak kalah pentingnya adalah, memastikan Komnas HAM bisa mengirim semua hasil penyelidikan terkait kejahatan berdasarkan hukum," kata Taufan.

https://nasional.kompas.com/read/2021/04/06/14421291/komnas-ham-soroti-sejumlah-uu-terkait-hak-asasi-manusia-dan-lembaganya

Terkini Lainnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Projo: Nasihat Bagus

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Projo: Nasihat Bagus

Nasional
Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Nasional
Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Nasional
Tak Cemas Lawan Kandidat Lain pada Pilkada Jatim, Khofifah: Kenapa Khawatir?

Tak Cemas Lawan Kandidat Lain pada Pilkada Jatim, Khofifah: Kenapa Khawatir?

Nasional
Khofifah Tolak Tawaran Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Khofifah Tolak Tawaran Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Nasional
Soal Duetnya pada Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Soal Duetnya pada Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Nasional
Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Nasional
Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Nasional
Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke