JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Kepala Kantor Demokrat Muhammad Rahmat menyebut Kongres Luar Biasa (KLB) di Deli Serdang, Sumatera Utara pada Jumat (5/3/2021) bukan semata persoalan penggantian Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat.
Melainkan, menurut dia, KLB diselenggarakan dengan tujuan mengembalikan Demokrat ke marwah asalnya yaitu kebebasan berdemokrasi bagi setiap kader partai.
"Persoalan mendasar adalah mengembalikan Demokrat ke asalnya yaitu kebebasan berdemokrasi, memperjuangkan Demokrat demi memperjuangkan tumbuhnya Demokrasi yang betul-betul kita inginkan di Indonesia," kata Rahmat dalam konferensi pers Partai Demokrat kubu Moeldoko, Selasa (9/3/2021).
Baca juga: Tersedu-sedu, Darmizal Mengaku Menyesal Pernah Dukung SBY Jadi Ketum Demokrat
Rahmat menilai, selama ini kebebasan berdemokrasi justru tidak ditemukan dalam Partai Demokrat.
Hal ini dinilainya berkebalikan dengan cita-cita para pendiri Partai Demokrat yang ingin menjunjung tinggi kebebasan berpendapat.
"Cita-cita para pendiri Partai Demokrat dulu adalah bagaimana demokrasi di Indonesia ini bisa tumbuh dengan demokrasi yang terbuka dan transparan. Dan itu sekarang tidak kita temukan di dalam Partai Demokrat," jelasnya.
Oleh karena itu, dirinya menganggap hal tersebut menjadi dasar utama, beberapa tokoh senior Demokrat mendirikan KLB di Deli Serdang, Sumatera Utara.
Ia membeberkan bagaimana awal mula KLB ini dapat terselenggara. Awalnya, kata dia, para kader Demokrat di daerah menginginkan digelarnya KLB.
Hal ini didasari karena keluh kesah kader di daerah yang mempertanyakan sejumlah kejanggalan dalam tubuh Partai Demokrat.
"Setoran dalam Pilkada, kader-kader Demokrat yang berdarah-darah di daerah itu tidak bisa menjadi calon kepala daerah DPRD Provinsi Kabupaten/Kota karena maharnya kalah nilainya dengan calon kepala daerah lain," tuturnya.
Baca juga: Ikut KLB, Ketua DPC Partai Demokrat Takalar Dipecat
Selain itu, ia juga menyebutkan kejanggalan yang ada pada saat pemilihan ketua umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono dalam Kongres V Partai Demokrat 2020.
Menurutnya, kala itu suara majelis tinggi lebih diperhatikan daripada suara mayoritas yang dimiliki oleh Ketua DPD dan DPC.
"Majelis Tinggi hanya memiliki sembilan suara, sementara DPD memiliki 64 suara, DPC memiliki 514 suara, tetapi suara DPD dan DPC yang mayoritas itu harus tunduk kepada majelis tinggi yang hanya memiliki sembilan suara," jelas dia.
"Ini tentu sangat menciderai pembangunan demokrasi di Indonesia, inilah contoh oligarki politik memasuk kebebasan ekspresi dari teman-teman DPC dan DPD. Dan inilah yang menjadi rintihan teman-teman di daerah kader-kader Demokrat di seluruh Indonesia," sambung Rahmat.
Rahmat juga mengatakan, para kader telah sepakat mengatakan kejanggalan-kejanggalan itu berlawanan dengan marwah Partai Demokrat yang seharusnya berlaku demokratis.
Baca juga: Kubu Kontra AHY Nilai AD/ART Partai Demokrat Kongres V 2020 Abal-abal