JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai menyadari bahwa negara kehilangan masukan dari warganya berupa kritik.
Hal tersebut disampaikan Pangi menanggapi usulan revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang digulirkan Jokowi.
"Syukur Presiden sudah siuman sehingga ada niat untuk revisi UU ITE ini, tapi apakah ini hanya sebatas dagelan politik atau panggung sandiwara belaka?" ujar Pangi dalam keterangan tertulis yang diterima, Selasa (23/2/2021).
"Presiden seolah siuman setelah negara kehilangan vitamin, akibat keringnya kritik, sementara puji pujian terhadap pemerintah mengalami obesitas," kata dia.
Baca juga: Wacana Revisi UU ITE Diharapkan Bukan Basa-Basi Politik Presiden
Pangi mengatakan, sejak awal masyarakat sudah dibuat khawatir dengan pasal karet UU ITE yang membungkam kebebasan berpendapat atau freedom of speech.
Hal tersebut berujung dengan memenjarakan orang-orang yang terkenal vokal mengkiritik pemerintah.
Bahkan, menurut dia, korban dari pasal karet UU ITE tersebut sudah terlalu banyak.
"Fenomena warga negara yang kritis (critical citizen) ada dalam ruang wilayah sistem demokrasi yang ideal, kemunculan warga yang kritis menstabilkan kehidupan politik," kata dia.
Baca juga: Kapolri Terbitkan SE soal UU ITE, Ketua Komisi III: Terobosan Progresif
Selain itu, kehadiran critical democracy juga disebutkannya mengindikasikan kehidupan politik yang sehat apabila diikuti tekanan untuk perbaikan institusional
Sebab dalam demokrasi, kata dia, salah satu yang dijamin adalah kebebasan sipil.
Pangi mengatakan, di masa kepemimpinan Presiden Jokowi, kualitas demokrasi menurun dan daya tahannya melemah baik itu dalam kebebasan berpendapat maupun berekspresi.
Penurunan tersebut terlihat dari data Indeks Demokrasi Indonesia tahun 2020 versi The Economist Intelligence Unit (EIU).
Dalam laporan tersebut, kata dia, Indonesia tercatat mendapatkan skor 7,92 untuk proses pemilu dan pluralisme; 7,50 untuk fungsi dan kinerja pemerintah; 6,11 untuk partipasi politik; 4,38 untuk budaya politik; dan 5,59 untuk kebebasan sipil.
"Turunnya indeks demokrasi Indonesia jelas punya konsekuensi logis terhadap tingkat kepercayaan dunia untuk berinvestasi di Indonesia, terkait pinjaman dan lain lain," kata dia.
Baca juga: Instruksi Kapolri: Gelar Perkara UU ITE Harus Bersama Kabareskrim
Bahkan, kata Pangi, Freedom House bisa saja memasukkan Indonesia ke dalam daftar negara yang demokrasinya dalam persimpangan jalan karena mulai tersumbatnya kanal kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan mengadakan perkumpulan.
Sebab, menurut dia, pada era Presiden Jokowi yang terjadi adalah fenomena negara overdosis curiga dengan pikiran-pikiran kebebasan rakyatnya.
Pangi mengatakan, hal tersebut bahkan menjadikan Presiden seperti dewa yang anti kritik, menjadi feodal, masyarakat dibungkam, dan kebebasan berekspresi dikebiri.
Ia pun berharap rencana revisi UU ITE yang digulirkan Jokowi tidak hanya basa-basi politik semata.
Sebelumnya diberitakan, Presiden Jokowi mengusulkan revisi UU ITE Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE dalam pembukaan Rapat Pimpinan TNI-Polri di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/2/2021).
Saat itu Presiden Jokowi mengatakan bahwa implementasi UU tersebut kerap kali merugikan masyarakat.
Ia menilai bahwa saat ini banyak warga yang saling melapor ke pihak kepolisian yang menjadikan pelanggaran UU ITE sebagai landasannya.
Hal tersebut menurutnya dapat menciptakan ketidakadilan sehingga ia pun mengusulkan untuk merevisinya kepada DPR.
"Karena di sini lah hulunya, direvisi, terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda, yang mudah diinterpretasikan secara sepihak," kata Jokowi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.