Sebelumnya, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia ( Formappi) mendorong pemerintah untuk memasukkan revisi UU ITE ke daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.
Menurut Lucius, hal tersebut mesti dilakukan jika Presiden Joko Widodo benar-benar serius ingin merevisi UU ITE.
"Jika Presiden memang benar mau merevisi UU ITE, maka langkah prosedural yang penting adalah memerintahkan Menkumham agar membicarakan lagi bersama DPR dan DPD untuk menambah Revisi UU ITE dalam daftar Prolegnas Prioritas 2021," kata Lucius, saat dihubungi, Rabu (17/2/2021).
Baca juga: Ini Langkah yang Harus Dilakukan Jokowi jika Serius Ingin Revisi UU ITE
Lucius menuturkan, peluang untuk merevisi UU ITE pada tahun ini masih terbuka. Sebab, DPR belum mengesahkan daftar 33 rancangan undang-undang (RUU) yang sudah disepakati dalam Prolegnas Prioritas.
Lucius mengatakan, daftar Prolegnas Prioritas pun dapat dievaluasi di pertengahan jalan jika ada kebutuhan RUU tertentu yang dianggap mendesak.
"Oleh karena itu bukan berarti tak ada kemungkinan melakukan revisi UU ITE di tahun ini," ujar Lucius.
Lucius menambahkan, peluang revisi makin terbuka mengingat mayoritas fraksi di DPR dan Pemerintah sepakat untuk mengeluarkan RUU Pemilu dari daftar Prolegnas Prioritas 2021.
"Ini bisa jadi peluang jika pemerintah menginginkan jatah revisi UU Pemilu diganti dengan revisi UU ITE," kata dia.
Saat ini revisi UU ITE masuk daftar 248 RUU Prolegnas 2020-2024. Hal itu menandakan ada agenda nasional untuk merevisi UU tersebut.
Namun jika revisi UU ITE dianggap mendesak, maka regulasi itu harus masuk Prolegnas Prioritas.
"Presiden mesti memastikan revisi UU ITE menjadi 1 dari 33 RUU Prioritas yang disepakati antara DPR, Pemerintah, dan DPD," kata Lucius.
Pasal multitafsir
Berdasarkan catatan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) setidaknya ada dua pasal dalam UU ITE yang dianggap multitafsir, yakni Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (2).
Pasal 27 ayat (1) melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Frasa "melanggar kesusilaan" dinilai memiliki konteks dan batasan yang tidak jelas.
Baca juga: ICJR: Revisi UU ITE Harus Menghilangkan Pasal Karet Bukan Membuat Pedoman Interpretasi
Terkait Pasal 28 ayat (2), ICJR menilai pasal ini tidak dirumuskan sesuai dengan tujuan awal perumusan tindak pidana tentang propaganda kebencian.
Pasal itu memuat larangan bagi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Pada praktiknya, pasal tersebut justru menyasar kelompok dan individu yang mengkritik institusi dan penyampaian ekspresi yang sah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.