Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menelaah Kekurangan jika Pilkada Dilaksanakan Tahun 2024...

Kompas.com - 10/02/2021, 07:44 WIB
Sania Mashabi,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah membahas revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Revisi tersebut belum rampung karena ada ada beberapa hal yang masih menjadi perdebatan antar fraksi.

Salah satu yang menjadi perdebatan adalah penormalan jadwal pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang awalnya akan dilaksanakan tahun 2024 diubah menjadi 2022-2023.

Beberapa fraksi menginginkan pelaksanaan pilkada serentak tetap dilaksanakan sesuai jadwal yakni tahun 2024.

Baca juga: Revisi UU Pemilu Dinilai Perkuat Kualitas Demokrasi, Wakil Ketua DPR Korpolkam Beberkan Alasannya

Namun ada juga fraksi yang setuju jika jadwal pilkada dinormalkan menjadi tahun 2022 dan 2023.

Melihat wacana tersebut, Pendiri sekaligus peneliti Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay menilai, ada sejumlah kekurangan apabila Pilkada tetap dilaksanakan tahun 2024.

Pertama, kata dia, pelaksanaan pilkada yang berbarengan dengan pemilu nasional akan menambah beban kerja penyelenggara pemilu.

"Nah, kalau ada pemilihan besar semua dijadikan satu, di dalam waktu yang berdekatan, itu sebetulnya akan sangat merepotkan, pekerjaan ya akan sangat sulit," kata Hadar kepada Kompas.com, Senin (8/2/2021).

Baca juga: Sikap Pemerintah dan Parpol Tolak Revisi UU Pemilu Dinilai Mengecewakan

Jika beban kerja terlalu besar, Hadar menyebut, hal itu berpotensi membuat penyelenggara pemilu tidak bisa menjalankannya dengan baik.

Sehingga akan berpengaruh pada kualitas penyelenggaraan pemilu nantinya.

Kekurangan kedua yaitu masyarakat menjadi bingung karena ada banyak pilihan yang harus mereka pilih.

Selain itu, jika dilaksanakan berbarengan dengan pemilu nasional, pemilu daerah akan kehilangan sorotan masyarakat.

"Belum lagi biasanya pemilihan presiden itu akan lebih banyak menarik banyak perhatian," ujarnya.

"Ramenya itu pemberitaan kegiatannya itu pemilihan presiden yang lebih ramai. Sehingga perhatian semua pihak ke arah sana," lanjut dia.

Baca juga: Azis Syamsuddin Sebut Revisi UU Pemilu Penting Guna Perkuat Kualitas Demokrasi

Kekurangan lainya adalah jika pilkada dan pemilu serentak dilaksanakan serentak pada 2024 masyarakat tidak bisa melakukan evaluasi pemerintahan.

Hadar menuturkan, meski pelaksanaan pilkada dan pemilu nasional dilaksanakan di bulan yang berbeda tetap saja tidak cukup waktu untuk melakukan evaluasi.

"Jadi adanya jeda dari satu pemilihan ke yang lain itu bisa memberi ruang bagi pemllih yang punya kedaulatan penentu ini untuk melakukan evaluasi dan memastikan pilihan yang terbaik buat dia," ungkapnya.

Selain itu, Hadar juga menilai, jika pilkada tidak dilaksanakan pada 2022 dan 2023 akan membuat masyarakat tidak bisa mendapatkan haknya untuk memperoleh pemimpin definitif tepat setelah masa jabatan kepala daerah habis.

Baca juga: Dinamika Revisi UU Pemilu: Nasdem dan Golkar Berubah Sikap, Demokrat dan PKS Tetap Mendukung

Ia memahami bahwa masa jabatan yang tengah kosong tersebut bisa diisi oleh penanggungjawab daerah, namun pengisian jabatan tersebut justru berpotensi menimbulkan masalah baru.

"Kepala daerah yang pejabat itu biasanya kepala daerah yang double-double jabatannya misalnya seorang dirjen dia dikasih pejabat di mana," ujarnya.

"Jadi dia juga tidak bisa fokus biasanya. jadi itu tidak terlalu baik juga sebetulnya. Kecuali darurat betul ya," ucap dia.

Pelaksanaan semakin rumit

Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Agustyati menilai sebaiknya jadwal Pilkada dinormalkan menjadi 2022 dan 2023.

"Kalau menurut kami memang sebaiknya perlu ada normalisasi jadwal pilkada. Jadi tetap perlu ada pilkada di tahun 2022 dan 2023," kata Khoirunnisa kepada Kompas.com, Kamis (28/1/2021).

Khoirunnisa menilai, jika pilkada dilakukan serentak dengan pemilu nasional di 2024 akan berimplikasi pada kompleksitas penyelenggaraanya.

Baca juga: Pengamat Duga Ada Insentif dari Jokowi kepada Partai yang Tolak Revisi UU Pemilu Dilanjutkan

Serta, lanjut dia, berpotensi membuat pelaksanaan pemilihan menjadi semakin rumit dan melelahkan bagi penyelenggara.

"Walaupun penyelenggaraan pemilu nasional dan pilkada tidak diselenggarakan di hari yang sama tetapi pasti tahapannya akan berhimpitan," ujarnya.

Ia juga menduga, tidak menutup kemungkinan partai bersikeras melaksanakan Pilkada Serentak 2024 karena memiliki kepentingan tersendiri.

Ia juga memahami dinamika penolakan jadwal pilkada dalam wacana revisi merupakan hal yang biasa terjadi di DPR.

Namun, Khoirunnisa menekankan jangan sampai kepentingan itu mengalahkan proses perbaikan demokrasi di Indonesia.

"Jangan sampai tujuan pemilu untuk tata kelola perbaikan demokrasi kita harus dikalahkan oleh kepentingan partai," kata Khoirunnisa kepada Kompas.com, Selasa (2/2/2021).

Baca juga: Wakil Ketua Komisi II Usulkan Jokowi Terbitkan Perppu jika UU Pemilu Tidak Direvisi

Selain itu, ia juga menilai ada inkonsistensi dari beberapa partai politik yang menolak pelaksanaan Pilkada 2022 dengan alasan Indonesia masih dalam kondisi pandemi Covid-19.

Sedangkan, Pilkada 2020 tetap dilaksanakan dalam situasi Indonesia mengalami pandemi.

"Kami melihat ada ketidakkonsistenan di sini," ungkapnya.

Ia mengatakan, dengan merevisi jadwal pilkada dalam UU Pemilu akan membuat pelaksanaan pilkada di masa pandemi menjadi lebih siap.

Terlebih lagi belum bisa diketahui juga sampai kapan pandemi Covid-19 akan berakhir.

"Padahal dengan revisi Undang-Undang Pemilu, kita bisa membuat peraturan teknis yang lebih adaptif dengan situasi pandemi atau krisis seperti ini. Pada Pilkada 2020 yang lalu kita tidak punya peraturan itu di level undang-undang," ujarnya.

"Misalnya dengan memberlakukan pemilihan lewat pos, pemilihan pendahuluan atau membuka TPS lebih panjang waktunya," lanjut dia.

Baca juga: Dinamika Revisi UU Pemilu, Baleg Tunggu Keputusan Komisi II

Selain itu, Khoirunnisa mengingatkan bahwa penolakan koalisi masyarakat sipil atas Pilkada 2020 bukan didasari dalam kondisi pandemi Covid-19 saja.

Melainkan, koalisi masyarakat sipil menilai penyelenggara belum memiliki regulasi yang mumpuni untuk menyelenggarakan pilkada.

"Tapi kita siapkan dulu regulasinya supaya bisa lebih adaptif dengan situasi pandemi," ucap Khoirunnisa.

Batal dukung revisi UU Pemilu

Belum selesai polemik jadwal pilkada tersebut, Partai Nasdem dan Golkar justru memutuskan untuk tidak meneruskan pembahasan revisi UU Pemilu yang diusulkan Komisi II DPR.

Golkar dan Nasdem sebelumnya merupakan dua partai anggota koalisi pemerintahan yang tak sejalan sikapnya dengan pemerintah dalam hal revisi UU Pemilu.

Mereka menginginkan adanya revisi UU Pemilu agar Pilkada 2022 dan 2023 tetap bisa berlangsung. Sedangkan pemerintah menginginkan pelaksaan pilkada tetap sesuai jadwal yakni di tahun 2024.

Baca juga: KPU Sebut Pemilu Borongan 2024 Munculkan Beban Anggaran hingga KPPS

Adapun Ketua Komisi II DPR sekaligus politisi Golkar Ahmad Doli Kurnia mengatakan, setiap pembahasan undang-undang harus ada pandangan yang sama, antara pemerintah dan DPR.

Doli mengatakan, Golkar pun pada akhirnya memilih untuk bersikap sama seperti pemerintah lantaran merupakan partai koalisi pemerintah.

"Kami sebagai partai politik bagian dari pemerintah, kami harus punya kesamaan pandangan dengan pemerintah," kata Doli sebagaimana dikutip dari Tribunnews.com, Senin (8/2/2021).

"Ada diskusi-diskusi sangat intensif antara pemerintah dengan pimpinan partai politik, sehingga pada akhirnya satu kesimpulan, kami tunda pembahasan revisi Undang-Undang Pemilu," tutur Doli.

Baca juga: Perludem: Aneh Jika Partai dan Pemerintah Enggan UU Pemilu Direvisi

Hal yang sama diungkapkan Wakil Ketua Komisi II DPR Saan Mustopa yang juga merupakan Ketua DPP Nasdem.

Ia berpendapat, pembahasan revisi UU Pemilu tidak bisa dilakukan sendiri oleh DPR maupun pemerintah.

Saan, mengatakan kedua belah pihak harus satu pemikiran terhadap revis UU Pemilu.

Ia menyebut, ada berbagai pertimbangan dari Nasdem hingga akhirnya tidak menginginkan revisi UU Pemilu pada saat ini.

Saan mengatakan keputusan itu diambil Nasdem setelah sejumlah pimpinan partai berdiskusi dengan pemerintah.

"Pimpinan partai dengan pemerintah juga banyak berdiskusi, banyak membicarakan terkait kondisi kebangsaan kita hari ini, dan juga mungkin hal-hal mendesak harus ditangani secara bersama-sama," kata Saan.

Baca juga: Demokrat Khawatir Tak Bisa Ikut Pemilu dan Pilkada jika Kudeta Berhasil

Selain itu, kata Saan, kesamaan sikap Nasdem dengan pemerintah dalam revisi UU Pemilu juga bertujuan menjaga kekompakan partai koalisi pemerintah.

Hal itu menurut dia menjadi bagian penting dalam konteks jalannya pemerintahan.

"Kami tidak mau dalam sebuah koalisi terkait dengan kebijakan pemerintah di kami berbeda antara negara, partai. Mudah-mudahan ini ditunda sementara, dan ke depan pemerintah dan pimpinan partai bisa berdiskusi dengan pertimbangan baru. Saat ini kami ikuti semua hasil keputusan pimpinan partai kami," tutur Saan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com