Salah satu Pilkada yang akan digelar pada 2022 adalah Pilkada DKI Jakarta. Sementara, dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 disebutkan Pilkada serentak ditetapkan pada November 2024.
Sehingga, jabatan kepala daerah yang berakhir pada 2022 dan 2023 akan diisi pejabat sementara, termasuk posisi Anies Baswedan.
"Jelas tidak benar (menghambat panggung politik Anies Baswedan). Tidak terkait dengan pak Anies Baswedan juga gubernur-gubernur yang lain seperti Jabar, Jatim, Jateng dan seterusnya, UU-nya juga diputuskan di tahun 2016 atau sebelum Pilgub DKI," ujar Djarot.
Baca juga: Tolak Pilkada 2022, PDI-P Tegaskan Tak Ada Niat Hambat Anies Baswedan
Senada dengan itu, Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKB Luqman Hakim menilai, Pilkada serentak harus digelar sesuai ketentuan UU Nomor 10 Tahun 2016.
Alasannya, saat ini Indonesia masih fokus dalam penanganan pandemi Covid-19 dan krisis ekonomi.
Ia memprediksi, sekitar dua tahun ke depan, Indonesia masih akan fokus dalam menangani pandemi Covid-19.
Oleh karena itu, apabila Pilkada dilaksanakan pada 2024, pemerintah akan lebih fokus pada penanganan pandemi.
"Dengan skema Pilkada serentak 2024, situasi politik nasional akan lebih kondusif dan anggaran negara dapat difokuskan untuk memulihkan ekonomi, mengatasi pengangguran dan kemiskinan yang melonjak akibat pandemi Covid-19," ujar Luqman, saat dihubungi, Kamis.
Demokrat, PKS, Nasdem dan Golkar
Adapun sikap berbeda ditunjukkan Demokrat, PKS, Nasdem dan Golkar, yakni mendorong Pilkada serentak 2024 dinormalisasi, sehingga Pilkada digelar pada 2022 dan 2023.
Kepala Badan Komunikasi Publik DPP Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra mengatakan, jika pelaksanaan Pilkada berdekatan dengan Pilpres, masyarakat akan kehilangan momentum mendalami visi misi dan rekam jejak calon kepala daerah.
"Bagaimanapun, Pilpres memiliki daya magnet yang luar biasa. Keserentakan pilpres dan pileg di 2019 lalu, memberikan contoh nyata bagaimana pileg tenggelam di tengah hiruk pikuk pilpres. Begitu juga kemungkinan nasib Pilkada," ujar Herzaky dalam keterangan tertulis, Rabu (27/1/2021).
Baca juga: Partai Demokrat Setuju Revisi UU Pemilu Atur Pilkada 2022 dan 2023
Akan tetapi, Herzaky menghormati dinamika dan opsi apapun yang akan disepakati antara DPR dan pemerintah terkait RUU Pemilu demi merawat demokrasi di Indonesia.
Ia mengingatkan, jangan sampai ada pihak yang memaksakan Pilkada serentak 2024 hanya kerena kepentingan pragmatis yang tidak pro-rakyat.
"Misalnya, mau menjegal tokoh-tokoh politik yang dianggap potensial sebagai capres," ujar Herzaky.
Sementara itu, Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS Mardani Ali Sera mengatakan, Pilkada 2022 dan 2023 perlu dilakukan agar sejumlah daerah tidak dipimpin ratusan pejabat sementara (Pjs) dalam jangka panjang.
Ia mengingatkan, di tengah pandemi Covid-19 ini sejumlah daerah membutuhkan kepala daerah definitif untuk menangani pandemi.
"Justru di masa krisis diperlukan kepala daerah definitif hingga bisa menjadi nahkoda utama mengawal krisis. Usulan PKS, pilkada serentak dilaksanakan 2,5 tahun sesudah Pemilu 2024 agar dapat juga berfungsi sebagai pemilu sela yang mengoreksi pemenang Pemilu 2024," ujar Mardani saat dihubungi, Kamis (28/1/2021).
Baca juga: PKS Setuju Revisi UU Pemilu Atur Pelaksanaan Pilkada 2022 dan 2023