Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

LP3ES: Kemunduran Demokrasi, Pemerintah Cenderung ke Arah Otoritarianisme

Kompas.com - 17/11/2020, 18:06 WIB
Sania Mashabi,
Kristian Erdianto

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menilai demokrasi di Indonesia saat ini mengalami kemunduran. Kemunduran demokrasi telah diprediksi LP3ES dalam outlook yang diterbitkan pada akhir 2019 lalu.

Direktur Center for Media and Democracy LP3ES Wijayanto mengatakan, situasi demokrasi saat ini makin suram dan pemerintah cenderung mengarah ke otoritarianisme karena beberapa hal.

Baca juga: Peneliti LP3ES: Kemunduran Demokrasi Lebih Parah pada Periode Kedua Jokowi

"Pada akhir 2019 LP3ES menerbitkan outlook demokrasi yang mengabarkan kemunduran demokrasi dan kecenderungan putar balik ke arah otoritarianisme," kata Wijayanto dalam diskusi daring bertajuk Demokrasi di Masa Pandemi, Selasa (17/11/2020).

"Outlook itu juga meramalkan tentang makin suramnya masa depan demokrasi di Indonesia yang sayangnya justru menjadi nyata, tak lain karena penanganan pandemi yang keliru," lanjut dia.

Wijayanto mengatakan, kemunduran demokrasi ditandai oleh adanya konsolidasi oligarki. Artinya, kekuasaan dalam menentukan kebijakan dipegang berdasarkan kepentingan kelompok tertentu.

Baca juga: LP3ES: Pemerintah Otoriter Akan Memengaruhi Ekonomi secara Keseluruhan

 

Kemudian, upaya pemberangusan oposisi, pengingkaran terhadap prinsip demokrasi, intoleransi dan anjuran terhadap kekerasan.

Situasi tersebut diperparah dengan adanya pandemi Covid-19 dan komunikasi pemerintah yang dinilai buruk.

"Situasi oligarki yang telah terjadi sebelumnya itu kemudian menjadi prakondisi kita menangani pandemi. Hasilnya adalah kebijakan-kebijakan yang tidak menempatkan nyawa manusia," ujar dia.

Baca juga: Peneliti LP3ES: Kebijakan Pemerintahan Jokowi Berdampak Kemunduran Demokrasi

Wijayanto juga menyoroti tindakan represif terhadap aktivis dan masyarakat dalam aksi unjuk rasa penolakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Selanjutnya, kekerasan terhadap jurnalis dan akademisi di kampus. Ada pula surat edaran menteri kepada rektor untuk meminta mahasiswa tidak turun ke jalan untuk menolak UU Cipta Kerja.

"Lalu pasukan siber beroperasi di setiap kebijakan yang buruk, kritik yang muncul tidak didengar yang ada justru menggiring opini publik untuk menjadi setuju," ucap Wijayanto.

Kebijakan yang berdampak pada kemunduran demokrasi

Sebelumnya, Wijayanto menyampaikan kebijakan Pemerintahan Presiden Joko Widodo yang berdampak pada demokrasi itu terlihat dalam riset yang berjudul Jokowi and The New Developmentalism  oleh The Australian National University.

Wijayanto mengatakan, riset tersebut menyebutkan bahwa Presiden Jokowi mengambil kebijakan yang fokus pada sektor pembangunan infrastruktur. Namun, pemerintah mengabaikan persoalan lain di Indonesia seperti perlindungan hak asasi manusia dan pemberantasan korupsi.

"Model pembangunan Jokowi lebih fokus pada infrastruktur sehingga mengabaikan masalah lain seperti misalnya masalah perlindungan HAM, pemberantasan korupsi dan lainnya," ujar Wijayanto, dalam diskusi secara virtual, Kamis (5/11/2020).

Baca juga: LP3ES: Pemerintah Gelontorkan Rp 405 Triliun Tapi Tak Mampu Cegah Kelaparan

Tak hanya dari sisi pembangunan infrastruktur, Wijayanto menilai, kemunduran demokrasi terlihat dari keinginan pemerintah dalam proses pembentukan omnibus law UU Cipta Kerja.

Pemerintah tetap melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja meski menuai penolakan dan kritik dari akademisi dan organisasi masyarakat.

"Omnibus law ini tidak hanya bermasalah dari sisi substansi dan legal formal, tapi ada demo, lalu mereka yang kritis diteror, dan dosen yang kritis juga mendapat kontrol dan teguran di kampus, itu termasuk kemunduran dan mengorbankan demokrasi juga," ucap Wijayanto.

Berdasarkan hal tersebut, Wijayanto mengatakan, saat ini dibutuhkan masyarakat sipil yang terkonsolidasi dan cerdas dalam mengkritisi kebijakan pemerintah.

"Kita jangan terfragmentasi, kita harus berkoalisi dan menyadari isu bersama," kata dia.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com