Realitas ini sekaligus menunjukkan demokrasi di Indonesia mulai masuk dalam keranjang obral (democracy for sale), ketika akhirnya proses emansipasi, empati, dan apreasiasi kepada poros politik berbeda mulai hilang.
Yang terlihat luas malah praktik klientelisme yang menghempas kekuatan politik di luar pemerintah yang memang secara kuantitatif tidak signifikan.
Siapa pun yang tidak setuju masuk dalam rumpun klientelisme, di samping tidak mendapatkan keuntungan politik dan ekonomi, bisa diabaikan dan dipinggirkan (Aspinall & Berenschot, 2019).
Ketiga, menganggap publik dan media salah baca atas undang-undang yang panjang ini juga menjadi masalah demokrasi lainnya.
Banyak media mainsteram dengan keterukuran dan etika jurnalistik yang kuat memberikan catatan kritis atas kelemahaman undang-undang ini, dan itu harus dilihat sebagai pengawalan demokrasi.
Pers adalah mata hati publik di tengah rembesan politik gigantik yang menggejala dan membius berita menjadi pariwara.
Demikian pula ulasan para pakar, telah menunjukkan motif politik hukum undang-undang lebih bernuansa kekuasaan (pasar global dan konglomerasi negara) dibandingkan hak-hak publik seperti masalah perburuhan, minerba, proyek pemerintah, perizinan investasi, dll (Bivitri Susanti, “Politik Hukum Omnibus Cipta Kerja”, Kompas, 10/10/2020).
Muara dari kritik publik adalah undang-undang ini sangat hiper-neoliberalistik. Sikap publik adalah “narasi demokrasi” yang harus dipadankan dengan “argumentasi negara”, yang duduk sejajar dan tak boleh dilipat begitu saja.
Sejak era Aristoteles, demokrasi telah dipahami sebagai wujud dukungan pada ketersediaan ruang publik bagi pengaruh rakyat, termasuk dalam pembentukan undang-undang.
Penajaman demokrasi selang abad, sejak era Renaisance dan Niccolo Machiavelli (1469-1527), hingga akhir abad ke-19, mengambil bentuk dalam konteks pembangunan masyarakat kapitalis-industrial.
Industrialisasi dan kapitalisasi liberal, memakai istilah Isaiah Berlin, menjadi “gairah serigala menerkam menerkam domba, seperti juga liberalisme kekuasaan menerkam si lemah dan kurang berbakat” (Sorensen, 2008).
Dalam konteks pemerintahan saat ini, kekuatan demokrasi harus mampu meredam pengaruh buruk teknokratisme-liberal pembangunan yang semakin lama semakin melukai, termasuk lingkungan.
Memang sejak awal pemerintahan Jokowi performanya lebih teknokratik dibandingkan enviromentalistik. Problem tidak bisa menjaga keseimbangan sehingga melukai lingkungan adalah masalah yang harus dijawab dengan kritik-kritik mendasar.
Ketika dihadapkan dengan kepentingan memperbesar produk domestik bruto dan limpahan tenaga kerja, aspek lingkungan dan politik agraria pasti tersayat dan terluka dalam.
Namun di situlah talenta pemimpin diuji, pembangunan tak sepantasnya mengeruk hingga berparut tanah air dan kandungan yang terdapat di dalamnya. Duka-duka lingkungan terlihat mengangka pada banyak proyek Kawasan Strategis Nasional (KSN).